(Teori) Segitiga Keguwoblokan Daniel Fahmi Nikmatul Vintage

Minggu, 25 Februari 2018

Pencetus Teori Segitiga Bersempak sebelum bergelar Vintage


Assalamualaikum, fans
Alhamdulillah, kita masih diberi umur untuk bertegur sapa melalui ruang maya bukan estianti ini.

Dalam tulisan reflektif saya kali ini, saya akan mencoba mengungkap tentang sebuah teori yang cukup mencengangkan dan menegangkan urat-urat akademisi jebolan YU-HE-EM dan YU-I.

Studi ini saya lakukan menggunakan metode partisipatif selama bertahun-tahun, semenjak pertemuan saya dengan santri bersaru dan bersarung yang lugu, guwoblok dan penuh misteri satu ini.

Studi saya ini akan mencoba mengungkapkan misteri terbesar abad ini yang telah disinggung oleh warga NU (Grab) yang berdarah hijau tulen, Ferdi Febiano Nikmatul Mukminin melalui kalimatnya sebagai berikut:

"Sahabatku Daniel yang gemar disalip tatkala tikungan menjelang."

Dalam membedah fenomena adyluhung mengenai dunia persempakan serta segitiga-segitiga yang bercecer dan diunboxingkan kali ini, saya akan menggunakan teori segitiga bermuda (mudo/wudo) yang dicetuskan oleh Prof. Dr. Daniel Fami Nikmatul Vintage pada abad kelima sebelum masehi dan masih tak terbantahkan hingga abad post-ultra-hyper-modern.

Secara ringkas, teori itu mengatakan bahwa segitiga bermuda adalah sisa dari teknologi atlantis yang hilang. Daan, teknologi super canggih yang dianggap hilang itu, tentu saja adalah benda berbentuk segitiga yang tidak lain kita sebut sempak. Saking familiar dan dekatnya teknologi canggih ini dengan umat manusia hingga manusia-manusia bodoh menganggapnya hilang.

Apa lacur, kebodohan manusia memang tidak ada habisnya. Sebagaimana keguwoblokan pencetus teori itu sendiri yang sempat disinggung akhinal kariim, Ferdi Febiano Nikmatul Mukminin, bahwa pencetus teori itu selalu disalip tatkala di tikungan.

Faktanya memang demikian. Sejak yang dipertuan agung keguwoblokan, Daniel Fahmi Nikmatul belum bergelar Vintage, dia dengan penuh kegowoblokan mengejar ke-vintage-an hingga ujung Merbabuuuuu. Ingat cuma mengejar. Tidak menyentuh, apalagi mendapatkan. Hobi mengejar ini berlanjut hingga harta karun ke-vintage-an ini ditemukan oleh seseorang, tepat di tikungan. Guwobllookknya lagi, setelah orang yang mendapatkan harta karun ke-vintage-an tersebut melepaskannya, Daniel Fahmi Nikmatul kembali mengejarnya. Ingat, sekali lagi, cuma mengejar. Dan sekali lagi, tepat di tikungan tajam, harta itu kembali ditemukan orang lain. Dan Daniel Fahmi Nikmatul akhirnya bergelar Daniel Fahmi Nikmatul Vintage untuk selama-lamanya karena keguuuwoobblokkkannya yang mengalahkan kerbau paling dungu dan guwoobbblokkk seantero dunia akhirat. 

Sudah? Oooh, belum. Setelah bergelar Vintage, Daniel Fahmi Nikmatul masih kembali mengejar. Namanya juga hobi, ya harap dimaklumi lah. Oh ya, saat pengejaran kedua ini, pencetus teori segitiga bersempak ini telah menjabat sebagai Direktur Pusman (Pusat Studi Teman). Dalam pengejarannya kali ini, Daniel Fahmi Nikmatul Vintage kembali disalip. Kurang ajarnya, jika sebelumnya yang menyalipnya di tikungan adalah oknum tentara, kali ini yang menyalipnya adalah kimcil. k-i-m-c-i-l. 

Begitulah kira-kira sejarah teori segitiga bersempak yang dicetuskan oleh Daniel Fahmi Nikmatul Vintage. Sebagai grand teori, teori ini sangat ampuh digunakan untuk membedah fenomena Pelakor (Pelucut Sempak Orang) yang akhir-akhir ini marak. Terlepas dari apakah secara faktual, sempak yang diperebutkan oleh pelakor itu menyangkut sempak lelaki atau perempuan, sempak yang dilucut itu tetap saja sempak. Mau jumlahnya tiga orang, empat orang, atau harganya rong yuto, telong yuto, petang yuto, tetap saja ini menyangkut sempak dan hal-hal yang terselip di dalamnya.


Demikianlah sedikit teori segitiga bersempak yang bisa saya ungkapkan berikut sejarah pencetus dan contoh-contoh faktual dari kehidupannya, semoga bermanfaat untuk dunia tikungan dan kepelakoran yang kita hayati secara tumakninah ini.

Akhirul kalam, wallohu a'lamu bisshowab.

Sempak Sebagai Tema Jurnal : Sebuah Telaah Filosofis, Kritis dan Mistis

Sabtu, 10 Februari 2018

Ferdi Febianno Nikmatul Mukminin Sedang Unboxing Sempak

Alhamdulillah, pertimbangan hukum tentang unboxing sempak yang saya tulis sebelum ini telah mendapatkan respon yang positif dari saudara seiman saya, Ferdi Febianno Nikmatul Mukminin.

Oleh karena itu, saya tidak akan menyia-nyiakan balasan itu begitu saja. Di sepertiga malam saya, di tengah sujud tahajud saya yang khusyu', saya menyempatkan menulis balasan ini sembari tahiyyat. Telunjuk tangan kanan saya tahiyyat, dan tangan kiri saya mengetik. Hati nurani saya gelisah, meronta dan terombang-ambing.

Sebab, dalam balasannya itu, termaktub pertanyaan yang menurut saya, begitu filosofis, kritis dan mistis. Kira-kira bunyinya begini, "Pantaskah unboxing sempak ini masuk bursa tema jurnal? Karena eratnya tema ini dengan nafas-nafas anti-modernisme berselimut intelektual yang selama ini kita perjuangkan, apakah pantas forum menolak ini sebagai juara tunggal debat bursa tema?"

Tulisan ini diikhtiarkan untuk menjawab pertanyaan maha sulit di atas.

Secara singkat, saya akan akan menjawab dengan lugas, "Pantas!". Dengan catatan bahwa yang dijadikan tema adalah sempak, bukan unboxing sempak secara spesifik. Kita tentu masih ingat dengan penggagas agung nan adiluhung pembacaan ulang jurnal, M Adhi Pratama, yang senantiasa mengingatkan kita bahwa tolak ukur tema Balkon --yang mengantarkan nak Ferdi Febianno Nikmatul Mukminin ke Amereka-- adalah SUKA.

Stop. Saya tahu anda akan menginterupsi seperti Ahmad, pemain utama film bercinta di atas kubah maskam yang hobinya Mubes seumur hidup itu karena saya menjadikan tolak ukur SUKA untuk tema jurnal.
Memang ini jurnal, tapi karena pembahasan kita dilakukan secara online, anggap saja ini Balkon dalam format jurnal online dengan tolak ukur SUKA agar perdebatan kita tidak meluber dan berceceran kemana-mana sebagaimana mantan dan mantan calon anaknya Taufik Alzurjani dan Arif Akbar JP itu.

Kita mulai dari S, Signifikansi.
Siapa yang meragukan signifikansi sempak, yang dipakai oleh hampir seluruh umat manusia, kecuali yang tidak memakai tentunya. Sampai saat ini, saya belum mendengar ada orang yang mencanangkan "No Sempak Day" sebagaimana "No Bra Day" yang ramai diperingati warganet setiap 13 Oktober. Dalam perspektif mistis, kita tahu dari stasiun-stasiun tivi khafitalisma jang hqq, bahwa tuyul pun bersempak. Bahkan, kalau kita mau lebih jauh, ada setan yang dengan trademark merk sempak dan warna sempak tertentu, Kolor Ijo. Barangkali, pocong pun, kalau anda mau sedikit kritis dan berani membuka tali pocong dan kain kafannya, mereka mungkin saja juga memakai sempak. Mengingat waktu dinas mereka kebanyakan adalah malam hari dengan udara dingin yang menusuk tulang. Meski mereka tidak berwudlu atau shalat subuh, tetap saja, dinas malam di tengah udara dingin mengharuskan pocong memakai sempak. Kalau bisa dua lapis. Tentu tidak lucu kalau di tengah dinas menakut-nakuti umat manusiya, mereka kebelet kencing, bukan?

U, Urgensi.
Masalah sempak adalah masalah yang begitu urgent karena menyangkut hajat hidup orang, genderuwo dan jin yang banyak. Bahkan mungkin, hampir semua. Sebab, sebagaimana saya sebutkan di atas, mereka semua membutuhkan sempak. Tak ada kehidupan yang lebih indah daripada kehidupan yang bersempak hqq. Jangan-jangan, di surga nanti, kita juga harus bersempak karena perkara sempak apalagi yang di dalamnya adalah perkara yang menyangkut kenikmatan surgawi.

K, Kedekatan.
Tolong sebutkan, barang apa yang lebih dekat dari umat manusia dan jin daripada sempak? Tidak ada. Perkara sempak adalah perkara umat manusia yang paling dekat dengan mereka. Kalau jarak yang paling jauh, sedekat ini yang saya tahu sih, baru jutaan tahun cahaya, sebagaimana dituliskan Ananda Dewi Kharisma Michellia dalam novelnya yang berjudul Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya dan mirip dengan novel terbaru Tomi Wibisono yang berjudul Hisapan Panjang Tentang Aibon Kita yang Milyaran Tahun Nikmatnya. Soal jarak, tentu nak Ferdi Febianno Nikmatul Mukminin masih hafal jarak antara Jakarta - Singapura atau Yogyakarta - Jakarta karena di sepanajang jalan itu, banyak kenangan ananda yang tercecer dan terinjak-injak.

A, Aktual.
Selain sarapan, adakah urusan lain yang biasa dilakukan umat manusia setiap pagi, selain urusan sempak? Tidak ada! Setiap pagi mereka pasti mencuci dan memakainya bukan? Jadi, tidak ada yang lebih aktual dari sempak. Tema ini selalu baru dan tidak akan pernah basi untuk kita angkat.

Jadi, sudah jelas, tema persempakan memang layak diangkat. Sebab tema ini jauh lebih menarik ketimbang tema transortasi saya yang saya loloskan dengan sedikit konsiprasi bersama Mbak Jajan. Apalagi, jika dibandingkan dengan tema Kanoninasi Sastra milik Dik Purnama dan Dik Dewi Kharisma Michellia yang terasa kekimcil-kimcilan itu. Apalagi, jika disejajarkan dengan tema agraria milik pejuang agraria Widada dan pejuang agraria yang berselingkuh dengan BPK Luqman Zaqi Jatibenang, yang cuma modal buku --kalau tidak salah ingat-- Setongkol Jagung. Baaahhh! Jauuuh!

Jadi, marilah kita memantapkan niat kita untuk mengangkat tema ini sebagai tema jurnal tahun ini untuk mengkritisi khafilatisma dan modernisma yang semakin, meminjam istilah Habib Riziq, KURAAAAANG AJAR!

Wallohu A'lamu Bisshowab


Tentang Hukum Unboxing Sempak Saudaraku Ferdi Febianno Nikmatul Mukminin yang Ke Amereka Naek Balkon

Ferdi Febianno Nikmatul Mukminin

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh, Saudara Seimanku Ferdi Febianno Nikmatul Mukminin yang ke Amereka Naek Balkon

Dengan ini saya nyatakan bahwa saya telah benar-benar menyaksikan semua video kiriman anda di dm instagram dengan seksama, sehormat-hormatnya dan seadil-adilnya, sejak dalam pikiran

Dengan ini pula saya akan menjawab tantangan anda untuk menafkahi anak, yang tangkas, dan juga pemberahi.

Oleh karena itu, pertama-tama, izinkan saya menceritakan sebuah kisah. Bukan tentang nabi-nabi, tetapi tentang pewarisnya, para kyai.

Dahulu kala, di sebuah acara bahtsul masail bertajuk Majelis Munadhoroh Pitulasan Menara Kudus yang dihadiri Alim Ulama se-Kudus, muncul sebuah pertanyaan yang kira-kira begini bunyinya: "Bagaimana hukumnya menjual rok mini?"

Sontak para Kyai Kudus yg hadir menjawab "Haram" dengan berbagai ma'khodz dari beberapa kitab yang intinya hampir sama yaitu menolong orang berbuat maksiat (membuka aurat). Namun jawaban berbeda justru dilayangkan oleh Pimpinan Majelis yang juga Ketua NU Cabang Kudus yaitu KH Turaikhan Ajhuri dan seorang Kyai Kampung. Keduanya menjawab halal hukumnya menjual rok mini.

Beliau berdua beralasan karena masalah yang dibahas adalah rok mini maka logika hukum yg ada harusnya terfokus terhadap rok mini tersebut yang telah membantu orang "menutupi" sebagian aurat bukan malah fokus ke paha yang masih keliatan karena pakaian atau kain sekecil apapun yg dipakai manusia itu berfungsi untuk menutupi bagian tubuh. Sedangkan jika ada bagian yang tubuh yang masih terbuka itu bukan salah penjual rok mini atau salah rok mininya tapi merupakan kesalahan si pemakai kenapa tidak mau menutupi bagian tersisa. Maka logika pemahamannya adalah bahwa menjual rok mini bukan membantu orang untuk membuka aurat tapi justru menutup sebagian aurat.

Setelah mendengar penjelasan dari KH Turaikhan yang tanpa mengambil satu paragraf pun dari kitab fikih tersebut akhirnya para kyai lain pun setuju dan Majelis Munadhoroh Pitulasan Menara Kudus memutuskan bahwa hukum menjual rok mini dan yang serupa (CD, Bra, Kaos U can see, bahkan sehelai benang) adalah Boleh atau Halal.


Berdasarkan cerita itu dapat disimpulkan bahwa sempak anda dijamin halal. Tapi, membuka sempak di depan umum, adalah haram. Yang saya tidak tahu adalah hukum memakai sempak di kepala. Tapi, dugaan saya, hukumnya juga haram karena dzalim, sebagaimana Saudara Taufik yang mendzalimi dirinya sendiri hingga hitam lebam.

Saudaraku Ferdi yang ditinggal ke Singapura karena tidak mampu membelikan buku Kahlil Gibran, pembahasan soal hukum di atas, sesungguhnya adalah karangan saya belaka. Saya rasa perlu untuk menyampaikan hal ini kepada anda agar tidak semena-mena dalam mendakwahkan unboxing sempak di mana-mana. Meskipun saya pelanggan Gojek, saya tidak membenci Grab. Sebab, keduanya adalah anak kandung NU yang sama-sama berwarna hijau. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa pertimbangan hukum di atas sungguh jauh dari kata subjektif. Hukum unboxing sempak itu saya sampaikan setulus hati kepada anda, setulus cinta mantan-mantan anda yang tak seberapa jumlahnya itu.

Demikian surat pertimbangan hukum ini saya sampaikan, mohon dijadikan acuan dalam berdakwah.


Surat Telanjang Untuk Saudaraku Di Jakarta Dari Sobat Selo Di Tempat Melambatnya Waktu Hingga Trilyunan Tahun Cahaya

Minggu, 08 Februari 2015



Untuk saudaraku yang dikasih-rahmati Tuhan semesta alam, Taufik Al-Zurjancok

Bill Kovach bersabda: “Suratkabar sensasional ibarat seseorang yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi ke tempat umum lalu melepas pakaian, telanjang. Orang pasti suka dan melihatnya” (Hadist riwayat Abu Andreas Al-Harsono)

Bukanlah demi keperluan agama bila saya memulai tulisan balasan ini dengan menukil sabda nabi kita bersama. Nukilan itu saya kira tepat diungkapkan untuk saudara saya, Taufik Al-Zurjancok, semoga Tuhan merahmati dan menerima semua amal perbuatannya. Dugaan saya, sebagai jurnalis yang kurang setia (tolong ingat dan hitung berapa jumlah mantannya yang tercecer kalau kuasa) mengimani nabinya, kali ini ia memilih jalan yang salah. Menulis surat demi popularitas yang sesa(a)t.

Mohon sidang pembaca memakluminya. Barangkali akhir fatihah yang berbunyi ihdinash shirothol mustaqim (tunjukkan kami jalan yang lurus) lupa diucapkannya di setiap ritual shalat atau aktifitasnya. Paling tidak, kurang dihayati oleh kawan saya yang hitamnya mirip sahabat Bilal ini. Bukankah manusia tempat salah dan lupa? Lupa yang berarti tidak punya akal, menjadikan orang macam sadaura saya Taufik bukan mukallaf dan tak teramanahi ibadah. Mirip orang gila. Mana ada orang gila beribadah? Begitulah. Ia memang jarang sholat kecuali sebelum mangkat ke Jakarta dengan hati yang tertolak dan tertalak.

Sidang pembaca yang dirahmati Tuhan.

Dalam tulisannya, saudara Taufik tampak mengajukan proposal polemik ihwal masakan Mamanya Uki, Keseloan serta Yogyakarta yang menyimpan semua kenangan, mantan pacar dan mantan calon anaknya yang tercecer dimana-mana.

Pertama, mamanya Uki. Tentu kita semua mafhum, saudaraku Taufik, bahwa Mamanya Uki adalah Mama kita bersama. Bukan Jokowi apalagi Prabowo. Setiap usai ritual makan-makan, Uki, sebagai ahli waris sah Mamanya dalam sifat, selalu berujar, “anggap saja rumah sendiri.” Saya yakin, haqqul yakin, Uki melafalkan kalimat itu bukan dalam rangka akting seperti di tipi-tipi yang biasa kita tonton. Oleh karena itu, setiap kami menyambangi Uki yang otomatis berarti menyantap pula masakan Mamanya, kami selalu menghayati dengan betul ujaran Uki itu. Demi menghormati Uki beserta keluarga, kami melakoni kejujuran tanpa akting karena kami tidak berbakat dan tidak ada potongan sama sekali untuk itu. Kami, sebagai seorang salik (pejalan), hanya ingin manunggal dengan Uki, rumahnya, mamanya, serta masakan mamanya. Semboyan kami, “Manunggaling kawula masakan mamanya Uki.” Tolong camkan baik-baik.

Saudaraku Taufik yang semoga dilimpahi keberkahan oleh Tuhan.

Berbicara ihwal Jogja sebenarnya membincang keseloan yang menjiwai alam pikir serta setiap laku hidup warganya. Sebut saja misalnya soal makan. Kita tahu, makanan, masakan, seperti halnya masakan Mamanya Uki adalah produk kebudayaan. Itu mengapa, kalau tak salah, Ong menyukai ekspedisi masakan untuk belajar menghayati kebudayaan. Walhasil, jiwa selo yang manunggal dengan Jogja itulah yang menghasilkan masakan Gudeg yang butuh waktu aduhai lama memasaknya dan butuh beberapa detik saja untuk disantap habis setiap penikmatnya. Satu lagi. Bakmi Jawa. Bisa membayangkan memasak slow motion a la Bakmi Jawa di Amerika fast food, Jepang masakan mentah atau Negara-negara (yang katanya) maju? Atau mimpi Mbah Marto dan Mbah Gito hidup di sana? Bila memasak Bakmi Jawa di sana, namanya pasti akan berubah jadi fast Bakmi Amerika atau Bakmi Jepang mentah. Kalau kedua Mbah kita itu hidup di dua Negara itu, pasti nama Mbah Marto jadi Mr. Gabriel Marto dan Mbah Gito jadi Mr. Brad Gito. Tentu saja setelah syukuran a la kadarnya dengan tetangga sebelah.

Dalam setiap pidato kebudayaan saya yang beribu-ribu kali jumlahnya itu selalu saya sampaikan bahwa selo itu memang dibutuhkan bahkan sebagai tiang utama penyangga peradaban. Bila tidak ada orang selo macam Socrates yang keliling-keliling ra jelas, Einstein yang suka angen-angen, atau siapalah orang yang kurang kerjaan lain, apa jadinya dunia ini, Bung! Kalau tidak ada orang selo, siapa yang beli tipi, nonton tipi, mimpi bisa jadi seperti yang di tipi, beli yang ditayangin tipi, dlsb?

Makanya, saya malah rada nganu sama Kabinet Presiden jongos rakyat nomor satu kita yang terhormat, kok naman Kabinetnya Kerja. Apa hidup melulu soal kerja? Dan apakah rakjat Indonesia sebelumnya tidak atau belum kerja? Oleh karena itu, sungguh Jokowi itu bukan kita. Jokowi ya Jokowi. Lha wong emaknya namain Jokowi itu Jokowi, pakai syukuran pula. Bukan menamakannya sebagai kita atau kita yang beri nama. Lagipula, kita siapa, yang mana, dan yang bagaimana? Lagipula lagi, sejak kapan sih nama Kabinet nggak nama orang lagi dan kenapa jadi kata seperti Gotong-royong lah, Kerja lah. Dulu kan Kabinetnya namanya Kabinet Natsir, Kabinet Mbahe Opik, Kabinet Buyute Opik dlsb. Nah, ini kan bisa jadi tema menarik bagi mahasiswa sejarah yang skripsi dan orangnya terlunta-lunta macam Pandoyo.

Ingat, khoirul umuri ausatuha, sebaik-baiknya perkara adalah yang semadyanya, tengah-tengah. Kanjeng nabi nyuruh berhenti makan sebelum kenyang. Sebelum kenyang itu, duhai saudaraku Taufik, berada pas di tengah titik equilibrium antara lapar dan kenyang. Seperti halnya siang punya malam, baik memiliki jelek, dan yang terpenting, Yin saja punya Yang. Masa kamu yang punya mantan yang bisa berbaris dari Tugu Jogja melewati Tugu Monas hingga Ka’bah dan Patung Liberty (masih) nggak punya Yang (lagi), saudaraku Taufik?

Jika saudaraku Taufik menamakan suratnya sebagai surat terbuka, maka saya menamakan surat ini adalah surat telanjang. Sebab, Taufik yang sedang kejar sensasionalitas sesa(at) itu memang telanjang tak tahu malu. Selain berjuang menentang kenangan dan memperteguh hati yang rapuh, ia juga coba mematahkan tesis, alhayau minal iman. Malu itu bukan sebagian iman Opik telanjang yang mengejar popularitas sesa(a)t.


Dari saudaramu, di tempat melambatnya waktu hingga trilyunan tahun cahaya
M. Misbahul Ulum

Surat Untuk Generasi Tua

Senin, 05 November 2012

Orang tua selalu bersabda
Beginilah
Begitulah
Sedang masa mereka alpha
Seolah kebenaran saja adanya
Kesalahan dilemparkan
Borok ditutupi
Kita ditodong dengan pistol
Dipaksa membenarkan nyanyian mereka yang sumbang


Kita hidup untuk verifikasi
Setiap jengkal niat, pikir, gerak, ucap, tindak, wajib dikoreksi
Setiap huruf harus dicurigai
Dunia hanya sama dengan omong kosong di sebuah lorong
Omong kosong hanya patut dihidangkan sebagai santapan udara
Dihirup manusia untuk menghasilkan daya
Sebab surga telah tiada


Pada akhirnya, kesalahan adalah kebenaran yang tak pernah dipersoalkan
Kesombongan adalah sabda kebenaran
Dan kebodohan adalah kepintaran yang diagung-agungkan