Kiranya, banyak pemikir yang sinis terhadap postmodernisme. Bahkan, dalam kamus The Modern-Day Dictionary of Received Ideas merumuskan bahwa kata postmodernisme tiada mempunyai arti. Jadi gunakan saja sesering mungkin, semaumu.
Namun, tidak demikian bagi I. Bambang Sugiharto. Ia berusaha mengulas ihwal postmodernisme dengan tuntas. Buku yang berjudul Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat ini berusaha membukakan mata pembaca bahwa akar masalah filsafat postmodern terletak pada bahasa. Lebih jauh, inti segala kegiatan bahasawi ialah pada metafor.
Stephen Toulmin, seorang penulis yang mencoba menjelajahi sejarah ide dasar berujar bahwa sejak 1720 hingga jauh ke dalam abad 20, sebagian besar filsuf dan ahli ilmu pengetahuan alam terus mempertahankan, dengan satu dan lain cara, investigasi mereka yang meletakkan kemanusiaan terpisah dari alam. Relasi keterpisahan seperti itu mengakibatkan relasi tuan hamba yang diperantarai oleh bahasa, dengan konsep serta identitas yang dibuat olehnya.
Bahasa dianggap terbatas untuk mendeskripsikan alam. Oleh karena itu, Sugiharto lebih memandang fungsi transformatif bahasa ketimbang fungsi deskriptifnya. Dalam fungsi deskriptif ini, metafor menjadi alat jajah yang terpenting. Oleh sebab itu, metafor harus dilihat sebagai peristiwa transformasi yang selalu ditandai oleh, meminjam istilah Ricoeur, kebenaran yang bersitegang (tensional truth).
Pada dasarnya dalam rangka memahami dirinya dan alam, manusia tidak mempunyai akses langsung murni dan rasionalitas sendiri yang cukup, bukan sesuatu yang pada dirinya sendiri memadai sebagai cermin untuk memahami realitas. Akibatnya, mau tak mau, cara dasar manusia untuk memahami alam dan dirinya hanyalah melalui metafor, yaitu dengan cara mempersamakan sesuatu yang lain, yang lebih dimengertinya, yang sebenarnya bukan hal itu sendiri. Seperti kata Nietzsche, bahwa konsep bangkit melalui penyamaan apa yang tak sama. Padahal, katanya lagi, alam tak mengenal bentuk, tak mengenal konsep, hanya mengenal “sebuah X” yang tak akan tercapai dan terbatasi bagi dan oleh kita.
Oleh sebab itulah, filsafat dewasa ini harus mengarah ke pembebasan. Baik dari penjajahan alam oleh manusia serta manusia oleh manusia, terutama terkait ihwal kebahasaan tentunya. Inilah yang coba ditawarkan oleh Sugiharto.
Entah mengapa, tulisan orang macam Sugiharto, F. Budi Hardiman, hingga A. Setyo Wibowo selalu renyah. Meski yang diramu dan disajikan ialah penganan yang mengenyangkan batok kepala. Bagi orang-orang awam macam saya tentu sajian ini sangat pantas untuk dikunyah. Terlebih, tema postmodernisme yang kali ini diangkat oleh Sugiharto selalu selalu menawarkan dua hidangan, antara nihilis-dekonstruktif serta revisionis. Sebagai penghancur modernisme atau penerus serta perevisi modern.
Bila prakira saya tak salah, karena masih menduga dan meraba-raba karena masih tak tahu apa-apa, Sugiharto ingin menawarkan kemerdekaan alam dan manusia. Membebaskannya dari konsep, identitas, serta bahasa. Dengan begitu, sebagai orang yang terlahir di Timur, dengan lantang saya akan memekikkan seperti yang diucapkan dalang edan Sudjiwo Tedjo tanpa tedeng aling-aling, “Jancuk!”. Atau, mari membuat puisi, karena bahasa putik mampu menjangkau barang sejenak, suatu cakrawala yang selalu menjauh, di mana dunia dapat langsung—tanpa didekati dengan perantaraan konsep—hadir di dalam dan bersama kita, kata Goenawan Muhammad.