Untuk saudaraku yang
dikasih-rahmati Tuhan semesta alam, Taufik Al-Zurjancok
Bill Kovach bersabda: “Suratkabar
sensasional ibarat seseorang yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi
ke tempat umum lalu melepas pakaian, telanjang. Orang pasti suka dan
melihatnya” (Hadist riwayat Abu Andreas Al-Harsono)
Bukanlah demi keperluan agama
bila saya memulai tulisan balasan ini dengan menukil sabda nabi kita bersama.
Nukilan itu saya kira tepat diungkapkan untuk saudara saya, Taufik
Al-Zurjancok, semoga Tuhan merahmati dan menerima semua amal perbuatannya.
Dugaan saya, sebagai jurnalis yang kurang setia (tolong ingat dan hitung berapa
jumlah mantannya yang tercecer kalau kuasa) mengimani nabinya, kali ini ia
memilih jalan yang salah. Menulis surat demi popularitas yang sesa(a)t.
Mohon sidang pembaca
memakluminya. Barangkali akhir fatihah yang berbunyi ihdinash shirothol
mustaqim (tunjukkan kami jalan yang lurus) lupa diucapkannya di setiap ritual
shalat atau aktifitasnya. Paling tidak, kurang dihayati oleh kawan saya yang
hitamnya mirip sahabat Bilal ini. Bukankah manusia tempat salah dan lupa? Lupa
yang berarti tidak punya akal, menjadikan orang macam sadaura saya Taufik bukan
mukallaf dan tak teramanahi ibadah. Mirip orang gila. Mana ada orang gila
beribadah? Begitulah. Ia memang jarang sholat kecuali sebelum mangkat ke
Jakarta dengan hati yang tertolak dan tertalak.
Sidang pembaca yang dirahmati
Tuhan.
Dalam tulisannya, saudara Taufik
tampak mengajukan proposal polemik ihwal masakan Mamanya Uki, Keseloan serta
Yogyakarta yang menyimpan semua kenangan, mantan pacar dan mantan calon anaknya
yang tercecer dimana-mana.
Pertama, mamanya Uki. Tentu kita
semua mafhum, saudaraku Taufik, bahwa Mamanya Uki adalah Mama kita bersama.
Bukan Jokowi apalagi Prabowo. Setiap usai ritual makan-makan, Uki, sebagai ahli
waris sah Mamanya dalam sifat, selalu berujar, “anggap saja rumah sendiri.”
Saya yakin, haqqul yakin, Uki melafalkan kalimat itu bukan dalam rangka akting
seperti di tipi-tipi yang biasa kita tonton. Oleh karena itu, setiap kami
menyambangi Uki yang otomatis berarti menyantap pula masakan Mamanya, kami
selalu menghayati dengan betul ujaran Uki itu. Demi menghormati Uki beserta
keluarga, kami melakoni kejujuran tanpa akting karena kami tidak berbakat dan
tidak ada potongan sama sekali untuk itu. Kami, sebagai seorang salik
(pejalan), hanya ingin manunggal dengan Uki, rumahnya, mamanya, serta masakan
mamanya. Semboyan kami, “Manunggaling kawula masakan mamanya Uki.” Tolong
camkan baik-baik.
Saudaraku Taufik yang semoga
dilimpahi keberkahan oleh Tuhan.
Berbicara ihwal Jogja sebenarnya
membincang keseloan yang menjiwai alam pikir serta setiap laku hidup warganya.
Sebut saja misalnya soal makan. Kita tahu, makanan, masakan, seperti halnya
masakan Mamanya Uki adalah produk kebudayaan. Itu mengapa, kalau tak salah, Ong
menyukai ekspedisi masakan untuk belajar menghayati kebudayaan. Walhasil, jiwa
selo yang manunggal dengan Jogja itulah yang menghasilkan masakan Gudeg yang
butuh waktu aduhai lama memasaknya dan butuh beberapa detik saja untuk disantap
habis setiap penikmatnya. Satu lagi. Bakmi Jawa. Bisa membayangkan memasak slow motion a la Bakmi Jawa di Amerika fast food, Jepang masakan mentah atau Negara-negara
(yang katanya) maju? Atau mimpi Mbah Marto dan Mbah Gito hidup di sana? Bila
memasak Bakmi Jawa di sana, namanya pasti akan berubah jadi fast Bakmi Amerika atau Bakmi Jepang
mentah. Kalau kedua Mbah kita itu hidup di dua Negara itu, pasti nama Mbah
Marto jadi Mr. Gabriel Marto dan Mbah Gito jadi Mr. Brad Gito. Tentu saja
setelah syukuran a la kadarnya dengan tetangga sebelah.
Dalam setiap pidato kebudayaan
saya yang beribu-ribu kali jumlahnya itu selalu saya sampaikan bahwa selo itu
memang dibutuhkan bahkan sebagai tiang utama penyangga peradaban. Bila tidak
ada orang selo macam Socrates yang keliling-keliling ra jelas, Einstein yang
suka angen-angen, atau siapalah orang yang kurang kerjaan lain, apa jadinya
dunia ini, Bung! Kalau tidak ada orang selo, siapa yang beli tipi, nonton tipi,
mimpi bisa jadi seperti yang di tipi, beli yang ditayangin tipi, dlsb?
Makanya, saya malah rada nganu
sama Kabinet Presiden jongos rakyat nomor satu kita yang terhormat, kok naman
Kabinetnya Kerja. Apa hidup melulu soal kerja? Dan apakah rakjat Indonesia
sebelumnya tidak atau belum kerja? Oleh karena itu, sungguh Jokowi itu bukan
kita. Jokowi ya Jokowi. Lha wong emaknya namain Jokowi itu Jokowi, pakai
syukuran pula. Bukan menamakannya sebagai kita atau kita yang beri nama. Lagipula,
kita siapa, yang mana, dan yang bagaimana? Lagipula lagi, sejak kapan sih nama
Kabinet nggak nama orang lagi dan kenapa jadi kata seperti Gotong-royong lah,
Kerja lah. Dulu kan Kabinetnya namanya Kabinet Natsir, Kabinet Mbahe Opik, Kabinet
Buyute Opik dlsb. Nah, ini kan bisa jadi tema menarik bagi mahasiswa sejarah
yang skripsi dan orangnya terlunta-lunta macam Pandoyo.
Ingat, khoirul umuri ausatuha,
sebaik-baiknya perkara adalah yang semadyanya, tengah-tengah. Kanjeng nabi
nyuruh berhenti makan sebelum kenyang. Sebelum kenyang itu, duhai saudaraku
Taufik, berada pas di tengah titik equilibrium antara lapar dan kenyang. Seperti
halnya siang punya malam, baik memiliki jelek, dan yang terpenting, Yin saja
punya Yang. Masa kamu yang punya mantan yang bisa berbaris dari Tugu Jogja
melewati Tugu Monas hingga Ka’bah dan Patung Liberty (masih) nggak punya Yang
(lagi), saudaraku Taufik?
Jika saudaraku Taufik menamakan suratnya
sebagai surat terbuka, maka saya menamakan surat ini adalah surat telanjang. Sebab,
Taufik yang sedang kejar sensasionalitas sesa(at) itu memang telanjang tak tahu
malu. Selain berjuang menentang kenangan dan memperteguh hati yang rapuh, ia
juga coba mematahkan tesis, alhayau minal iman. Malu itu bukan sebagian iman
Opik telanjang yang mengejar popularitas sesa(a)t.
Dari saudaramu, di tempat
melambatnya waktu hingga trilyunan tahun cahaya
M. Misbahul Ulum