Judul : Soe Hok Gie.....sekali lagi
Buku, Pesta, dan Cinta di Alam Bangsanya.
Penulis : Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R (ed.)
Penerbit : KPG (Kepusatakaan Populer Gramedia) bekerja sama dengan Universitas Indonesia, ILUNI Universitas Indonesia, dan KOMPAS.
Tahun : 2009.
Halaman : XL + 512 halaman.
Setelah proklamasi, kebenaran atas nama revolusi menghagemoni Indonesia, pahlawan proklamir kemerdekaanlah yang mencanangkannya, Soekarno. Segala tindakan pemerintah diatas namakan revolusi. Dan setelah memasuki era demokrasi terpimpin, kediktatoran Soekarno mulai menjadi, walaupun sebagian masyarakat membenarkan segala tindakannya karena ia adalah sang pahlawan proklamasi. Semua penentang revolusi dianggap sebagai musuh bangsa. PNI yang merupakan tunggangan politik Soekarno menjadikan PKI sebagai mitra berpolitiknya. Ia makin diktator dengan mengatasnamakan revolusi dan menggandeng PKI.
Soekarno dilengserkan oleh ABRI dan para mahasiswa Indonesia. “panggung sandiwara” Soeharto sukses menumbangkan rezim Orde Lama dengan “partner”nya, mahasiswa. Para petinggi pergerakan mahasiswa yang ikut andil dalam pelengseran Orde Lama tersebut “dipinang” dengan kursi DPR GR. Para oportunis mahasiswa tergoda dengan kursi madu yang ditawarkan Soeharto. Mereka mengkhianati perjuangan mahasiswa.
Pergolakan antara moral force dan political force semakin memanas setelah lengsernya Orde lama dengan “dipinangnya” para petinggi mahasiswa di DPR GR. Ialah Soe Hok Gie, salah seorang tokoh mahasiswa yang berpihak pada moral force. Para anggota PKI dikambing hitamkan dengan sebuah sandiwara, “tragedi lubang buaya.” Pembantaian massa anggota PKI pun terjadi. Soe Hok Gie yang menjadi “partner” Soeharto pun geram. Kritik-kritik terhadap pemerintahan Soeharto dilontarkannya lewat media massa. Ia seakan tak kuasa melihat ketidak adilan, termasuk ketidak adilan terhadap PKI yang dulunya merupakan “musuhnya.” Rasa ini tumbuh dalam dirnya dengan melihat penderitaan rakyat Indonesia dari dekat, terutama dengan mendaki gunung. Ia tak kuasa melihat “kepalsuan” kota Jakarta dan memilih untuk mengenali bangsa lebih dekat.
Buku yang berjudul Soe Hok Gie Sekali Lagi merupakan refleksi kehidupan seorang idealis sejati secara kompleks yang ditulis oleh teman-teman sejawatnya ataupun teman “jauhnya” adalah mainstream buku ini, bahkan sisi lain kehidupan Soe Hok Gie pun diungkap dalam buku ini, yakni dunia percintaan Soe Hok Gie. Pada awal bagian buku, pembaca diajak para saksi mata tragedi Semeru mengikuti pendakian dan melihat kisah sedih tentang kematian seorang pejuang sejati bangsa dari dekat. Profile Gie dihidupkan kembali dalam buku ini, mulai dari Gie di lingkungan Universitas sampai dirinya sebagai seorang demonstran dan perjuangannya yang tulus didedikasikan untuk bangsa Indonesia, meski dirinya seakan “tak diakui” sebagai bagian dari bangsa ini. Tulisan-tulisan Gie sengaja dimuat kembali dalam buku ini agar para pembaca mengetahui perjuangan-perjuangan lewat tulisan-tulisan Soe Hok Gie, baik itu berupa catatan harian, tulisan di media massa, ataupun skipsinya.
Kompleksitas buku ini, Kompleksitas profile seorang Gie yang diceritakan kembali oleh kawan-kawannya menjadi sebuah kelebihan buku ini. Profile utuh seorang Gie yang seakan tak cukup dituliskan dalam 500 halaman. Sampai dunia percintaan seorang Soe Hok Gie pun diulas. Tak hanya itu, dalam buku ini pun dilengkapi dengan tulisan orang-orang yang terilhami oleh sosok Gie termasuk Nicolas Syahputra. Bahkan buku tipis ini pun memuat sebuah resensi film berjudul GIE. Ditambah dengan tulisan-tulisan teman-teman “jauhnya” yang semakin melengkapi dan mewarnai buku ini.
Namun, teman sejawat Gie pada saat ini pasti lah sudah berumur 60an tahun, sehingga membuat saya meragukan ingatan orang tua yang biasa mengidap pikun. Kemungkinan distorsi sangat terbuka lebar dalam buku ini. Di sisi lain, buku ini pun juga telah “mencuri” bagian-bagian buku lain yang telah ditulis sendiri oleh seorang Soe Hok Gie, sehingga pembaca cenderung akan bosan jika sudah pernah membaca karangan-karangan Soe Hok Gie.
Tujuan dari penulisan buku ini tak lain adalah untuk menghadirkan kembali sosok Soe Hok Gie di tengah masyarakat Indonesia tertuma kalangan mahasiswa, sosok pemegang teguh idealisme yang menjadikannya sebagai pejuang sejati bangsa Indonesia. Oleh karena itu, buku ini layak dibaca oleh siapapun yang ingin memahami semangat nasionalisme seorang pemuda idealis, yaitu Soe Hok Gie. Terutama kalangan mahasiswa, khususnya mahasiswa pergerakan sebagai bahan renungan dalam aktivitsnya. Para pemuda sekarang adalah pemimpin bangsa di masa yang akan datang. Mereka adalah “pengawas” pemerintahan di masanya, yakni mahasiswa.