Unsur pertama yang khas dalam modernisasi, yang membedakannya dari transformasi-transformasi sosial lainnya selama sejarah, adalah terbentuknya dua subsistem yang semakin tidak terkuasai dan semakin mengkolonisasikan dunia kehidupan. Subsistem ekonomi pasar (uang) dan subsistem kekuasaan administratif (negara birokratis) menjadikan warga masyarakat modern semakin mengarahkan tindakannya pada pertimbangan ekonomis dan penyesuaian pragmatis dengan peraturan-peraturan birokasi negara. (Franz Magnis Suseno, Majalah Basis edisi november-desember 2004)
Setidaknya, ungkapan tersebut sedikit mewakili film Kane yang dibintangi, disutradarai, dan diproduseri oleh Orson Welles pada tahun 1941. Charles Foster Kane, tokoh utama dalam film, telah mempunyai kedua subsistem tersebut dengan uang dan kekuasaan. Kane nampaknya tidak sudi terkolonisasi dunia kehidupan, sebaliknya, ia ingin mengkolonisasi. Boleh jadi, itulah gambaran masyarakat modern saat ini dengan kerakusan tiada hentinya. Namun, semua yang dimiliki oleh Kane tidak begitu saja tercipta seketika, penuh lika-liku dan keunikan.
Awalnya, Kane merupakan seorang anak desa yang pas-pas-an. Ibunya, mengharapkan Kane di masa kelak dapat mengenyam pendidikan dan menggapai masa depan gemilang. Dengan terpaksa ibu Kane merelakannya untuk diasuh oleh Thacther, begitupun Kane, dengan terpaksa mengasuhkan diri atas kehendak ibunya, meski pada awalnya ia meronta-ronta menolaknya. Setelah tumbuh hingga berusia 25 tahun, Kane diwarisi Tuan Thacther sebagian kekayaannya yang berupa Thatcher & Company. Namun, si gagah Kane lebih tertarik dan melirik surat kabar untuk dijadikan “mainan”-nya. Ia lebih memilih untuk mengelola The New York Inquirer, sebuah surat kabar yang hampir menjemput ajal. Ia bertekad untuk memberitakan setiap peristiwa secara jujur. Tentu dengan sedikit polesan berupa hiburan dan “framing” yang menarik agar dapat memikat hati pembaca dan pelanggannya. Berkat “kesenangan”-nya dengan mainan barunya, The New York Inquirer menjadi maju dengan pesat. Kemajuan ini mencapai puncaknya saat Kane berhasil mendirikan sebuah “kerajaan media” dengan mengakuisisi 37 surat kabar, dua siaran radio, hingga pabrik kertas. Mungkin benar sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa, “senapan dalam rezim otoriter tergantikan oleh media di era demokrasi.” Dengannya—media—pula Kane dapat menggenggam demokrasi, ia memenangkan pemilihan dengan “senapan”-nya.
Itulah mainan seorang Kane. Meski berhak kaya raya, ia lebih memilih “bermain” dahulu daripada langsung menikmatinya. Bahkan, panggung politik juga “mainan” baginya. Harta, tahta, dan wanita telah menjadi “mainan”-nya. Namun, setelah “agak dewasa,” ia mulai bosan dengan segala “mainan”-nya, ia akhirnya termenung sendirian di kursi roda. Semua “mainan”-nya menghantarkannya pada kekosongan dan kehampaan. kesendirian tanpa henti menjadikan segala “mainan” kesayangannya busuk tertelan kekosongan dan kehampaan.
Hanya satu kata yang terucapkan oleh Kane sebelum menjemput ajalnya, yakni “Rosebud”. Usut punya usut, bahkan oleh jurnalis yang mencoba untuk menjadi detektif meski akhirnya tidak berhasil menemukan apa dan atau siapa Rosebud, ternyata, Rosebud adalah tulisan (nama) papan ski Kane sewaktu kecil. Ternyata, orang modern sesempurna ini masih menginginkan mainan masa kecilnya. Dengan ini kita dapat mengatakan, bahwa uang bukan segalanya, segalanya bukan uang dan tidak butuh uang—meski untuk membeli papan ski juga uang—jika membandingkan harta kekayaan Kane dengan harga sebuah papan ski. Semua “mainan” Kane berupa harta, tahta, dan wanita tiada berharga sama sekali jika dibanding dengan papan ski masa kecilnya. Mainan yang menjanjikan kesenangan utuh nan orisinil. Harta, tahta, dan wanita hanya pelampiasan dari Kane untuk mainan tercintanya, Rosebud.
Atau mungkin—jika boleh menebak—papan ski tersebutlah yang menjadi saksi terampasnya kasih sayang seorang anak kepada ibu dan sebaliknya. Saksi bisu perpisahan seorang anak dengan orang tua. Perpisahan yang tercipta akibat khayalan dan impian masa depan cerah yang biasa tergambar di layar televisi otak orang-orang zaman sekarang. Hingga, perpisahan pun bukan masalah apabila demi (bayangan) kebahagiaan di masa depan. Padahal ketika mengambil contoh Kane, semua khayalan itu roboh tergantikan romantisme masa lalu. Jika berjumpa dengan Kane, mungkin mulut saya akan keceplosan berucap, “Kane, kasih sayang dan kebahagiaan tidak bakal sebanding dengan dunia beserta seluruh isinya, kawan”.