Sekolah perfilman Amerika Serikat lebih bisa dikatakan menyiapkan tenaga kerja jagad perfilman daripada mendidik tentang perfilman. Lebih tepat kiranya apabila menyematkan nama ladang bisnis daripada sekolah kepadanya. Permasalahan yang dialami oleh hampir semua “sekolah” saat ini. mem-barang-kan para pembelajar agar bisa “dijual” setelah lulus. Anehnya, barang berotak ini pun masih banyak yang secara sukarela dan senang hati “berinvestasi” untuk dijadikan barang dagangan. Kasarnya, ingin jadi pelacur pun harus membayar investasi dahulu pada pemilik rumah pelacuran. Memang semangat zaman mengharuskan manusia menjadi pelacur, kecuali sang pemilik rumah pelacuran dan orang-orang terdekatnya.
Kedatangan teknologi semakin menihilkan dinamika inovasi kreasi artistik. Teknologi adalah seni menaklukkan (hati) audiens yang dianggap sebagai “raja” sekaligus “barang”. Hollywood sebagai panglima perang terkuat saat ini, siap menantang para pesaing agar penjajahan budaya tetap terlaksana dengan semestinya. Era kolonialisasi (sering dianggap) telah usai. Padahal ia tetap ada di tengah-tengah kita. Agaknya, peribahasa “kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak” lebih tepat untuk menggambarkan kebesaran penjajah yang menyimaharajakan modal di zaman ini dengan beromantisme pada penajajahan masa lalu. Sesuatu yang abstrak yang menguasai dunia adalah modal, tutur Pram. Kurang lebih seperti tuhan— abstrak—yang disembah—mungkin hampir—seluruh umat manusia. Tidak heran jika zaman modern yang diawali dan ditandai dengan pencerahan dikritik Teori Kritis Madzhab Frankfurt, yakni oleh Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno dalam Dialectic of Enlightenment bahwasanya mitos telah menjadi pencerahan dan pencerahan menjadi mitologi kembali.
Bisikan keindahan film Hollywood menjadi kartu AS US (United States) dalam rencana bisnisnya. Studio Hollywood mengupayakan penciptaan mimpi Amerika agar nampak jelas (dapat diraih) dengan para bintang sebagai alatnya. Para (aktor/aktris) bintang tak lebih seperti kucing mengagungkan yang tak berdaya. Talenta mereka dieksploitasi oleh hartawan studio untuk harta yang sebagian kecil diberikan kepada kucing berotaknya. Tak ayal, para penonton yang kelaparan dan hampir mati akibat ketahanannya berpuasa pun dibuat tak berdaya dengan menghamba kesenangan iming-iming sulap yang akan segera ditampilkan. Teknologi datang menolong untuk me-nyata-kan yang tidak nyata. Kualitas ide pun dikubur secara perlahan hingga batas terdalam olehnya. Tak urung, zaman modern yang beranak teknologi pun telah dikritik juga oleh Adorno dan Horkheimer karena telah mendominasi, temasuk di dalamnya terhadap alam. Meski mereka berdua secara jelas mengakui adanya kebutuhan makanan, pertanian, dan industri—bagi teknologi secara umum—mereka membedakan penguasaan alam atau –lebih merdunya—bersahabat dengan alam dan dominasi terhadapnya. Seandainya saja saat ini mereka masih hidup, mungkin bakal tidak sudi membeli AC dalam menghadapi panasnya iklim akibat pemanasan global. (hehehehe)
Panglima Hollywood semakin tiada tanding dengan persenjataan berbagai media yang turut menyokongnya. Padahal, industri perfilman tak ubahnya industri mobil yang berorientasi pada keuntungan dan perkembangbiakannya. Mobil yang terlihat besar dan mengkilap setelah jadi yang tidak terlihat dibalik kapnya atau saat masih dalam ruang pemotongan. Industri perfilman hanya cukup mengandalakan tampilan hebat dan indahnya agar laku keras di pasaran. Kilapan dan keindahannya sudah cukup untuk memikat seseorang. Ia tak lebih dari sebuah kebohongan yang menawarkan kehampaan. Hollywood merupakan bisnis beruanglingkup seluruh dunia yang memproduksi nilai-nilai Amerika. Dengan demikian, budaya dan nilai lain yang tidak memiliki panglima sekaliber Hollywood yang dapat menandinginya akan kalah dan menjadi jajahannya. Dunia telah dibentuk untuk menyasarkan manusia. Sungguh, hidup di belantara rimba berlogika, ber-sains, dan berobjektif (saja) memang sangat susah. Apakah ini yang disebut Zaman Edan?