Surat Telanjang Untuk Saudaraku Di Jakarta Dari Sobat Selo Di Tempat Melambatnya Waktu Hingga Trilyunan Tahun Cahaya

Minggu, 08 Februari 2015



Untuk saudaraku yang dikasih-rahmati Tuhan semesta alam, Taufik Al-Zurjancok

Bill Kovach bersabda: “Suratkabar sensasional ibarat seseorang yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi ke tempat umum lalu melepas pakaian, telanjang. Orang pasti suka dan melihatnya” (Hadist riwayat Abu Andreas Al-Harsono)

Bukanlah demi keperluan agama bila saya memulai tulisan balasan ini dengan menukil sabda nabi kita bersama. Nukilan itu saya kira tepat diungkapkan untuk saudara saya, Taufik Al-Zurjancok, semoga Tuhan merahmati dan menerima semua amal perbuatannya. Dugaan saya, sebagai jurnalis yang kurang setia (tolong ingat dan hitung berapa jumlah mantannya yang tercecer kalau kuasa) mengimani nabinya, kali ini ia memilih jalan yang salah. Menulis surat demi popularitas yang sesa(a)t.

Mohon sidang pembaca memakluminya. Barangkali akhir fatihah yang berbunyi ihdinash shirothol mustaqim (tunjukkan kami jalan yang lurus) lupa diucapkannya di setiap ritual shalat atau aktifitasnya. Paling tidak, kurang dihayati oleh kawan saya yang hitamnya mirip sahabat Bilal ini. Bukankah manusia tempat salah dan lupa? Lupa yang berarti tidak punya akal, menjadikan orang macam sadaura saya Taufik bukan mukallaf dan tak teramanahi ibadah. Mirip orang gila. Mana ada orang gila beribadah? Begitulah. Ia memang jarang sholat kecuali sebelum mangkat ke Jakarta dengan hati yang tertolak dan tertalak.

Sidang pembaca yang dirahmati Tuhan.

Dalam tulisannya, saudara Taufik tampak mengajukan proposal polemik ihwal masakan Mamanya Uki, Keseloan serta Yogyakarta yang menyimpan semua kenangan, mantan pacar dan mantan calon anaknya yang tercecer dimana-mana.

Pertama, mamanya Uki. Tentu kita semua mafhum, saudaraku Taufik, bahwa Mamanya Uki adalah Mama kita bersama. Bukan Jokowi apalagi Prabowo. Setiap usai ritual makan-makan, Uki, sebagai ahli waris sah Mamanya dalam sifat, selalu berujar, “anggap saja rumah sendiri.” Saya yakin, haqqul yakin, Uki melafalkan kalimat itu bukan dalam rangka akting seperti di tipi-tipi yang biasa kita tonton. Oleh karena itu, setiap kami menyambangi Uki yang otomatis berarti menyantap pula masakan Mamanya, kami selalu menghayati dengan betul ujaran Uki itu. Demi menghormati Uki beserta keluarga, kami melakoni kejujuran tanpa akting karena kami tidak berbakat dan tidak ada potongan sama sekali untuk itu. Kami, sebagai seorang salik (pejalan), hanya ingin manunggal dengan Uki, rumahnya, mamanya, serta masakan mamanya. Semboyan kami, “Manunggaling kawula masakan mamanya Uki.” Tolong camkan baik-baik.

Saudaraku Taufik yang semoga dilimpahi keberkahan oleh Tuhan.

Berbicara ihwal Jogja sebenarnya membincang keseloan yang menjiwai alam pikir serta setiap laku hidup warganya. Sebut saja misalnya soal makan. Kita tahu, makanan, masakan, seperti halnya masakan Mamanya Uki adalah produk kebudayaan. Itu mengapa, kalau tak salah, Ong menyukai ekspedisi masakan untuk belajar menghayati kebudayaan. Walhasil, jiwa selo yang manunggal dengan Jogja itulah yang menghasilkan masakan Gudeg yang butuh waktu aduhai lama memasaknya dan butuh beberapa detik saja untuk disantap habis setiap penikmatnya. Satu lagi. Bakmi Jawa. Bisa membayangkan memasak slow motion a la Bakmi Jawa di Amerika fast food, Jepang masakan mentah atau Negara-negara (yang katanya) maju? Atau mimpi Mbah Marto dan Mbah Gito hidup di sana? Bila memasak Bakmi Jawa di sana, namanya pasti akan berubah jadi fast Bakmi Amerika atau Bakmi Jepang mentah. Kalau kedua Mbah kita itu hidup di dua Negara itu, pasti nama Mbah Marto jadi Mr. Gabriel Marto dan Mbah Gito jadi Mr. Brad Gito. Tentu saja setelah syukuran a la kadarnya dengan tetangga sebelah.

Dalam setiap pidato kebudayaan saya yang beribu-ribu kali jumlahnya itu selalu saya sampaikan bahwa selo itu memang dibutuhkan bahkan sebagai tiang utama penyangga peradaban. Bila tidak ada orang selo macam Socrates yang keliling-keliling ra jelas, Einstein yang suka angen-angen, atau siapalah orang yang kurang kerjaan lain, apa jadinya dunia ini, Bung! Kalau tidak ada orang selo, siapa yang beli tipi, nonton tipi, mimpi bisa jadi seperti yang di tipi, beli yang ditayangin tipi, dlsb?

Makanya, saya malah rada nganu sama Kabinet Presiden jongos rakyat nomor satu kita yang terhormat, kok naman Kabinetnya Kerja. Apa hidup melulu soal kerja? Dan apakah rakjat Indonesia sebelumnya tidak atau belum kerja? Oleh karena itu, sungguh Jokowi itu bukan kita. Jokowi ya Jokowi. Lha wong emaknya namain Jokowi itu Jokowi, pakai syukuran pula. Bukan menamakannya sebagai kita atau kita yang beri nama. Lagipula, kita siapa, yang mana, dan yang bagaimana? Lagipula lagi, sejak kapan sih nama Kabinet nggak nama orang lagi dan kenapa jadi kata seperti Gotong-royong lah, Kerja lah. Dulu kan Kabinetnya namanya Kabinet Natsir, Kabinet Mbahe Opik, Kabinet Buyute Opik dlsb. Nah, ini kan bisa jadi tema menarik bagi mahasiswa sejarah yang skripsi dan orangnya terlunta-lunta macam Pandoyo.

Ingat, khoirul umuri ausatuha, sebaik-baiknya perkara adalah yang semadyanya, tengah-tengah. Kanjeng nabi nyuruh berhenti makan sebelum kenyang. Sebelum kenyang itu, duhai saudaraku Taufik, berada pas di tengah titik equilibrium antara lapar dan kenyang. Seperti halnya siang punya malam, baik memiliki jelek, dan yang terpenting, Yin saja punya Yang. Masa kamu yang punya mantan yang bisa berbaris dari Tugu Jogja melewati Tugu Monas hingga Ka’bah dan Patung Liberty (masih) nggak punya Yang (lagi), saudaraku Taufik?

Jika saudaraku Taufik menamakan suratnya sebagai surat terbuka, maka saya menamakan surat ini adalah surat telanjang. Sebab, Taufik yang sedang kejar sensasionalitas sesa(at) itu memang telanjang tak tahu malu. Selain berjuang menentang kenangan dan memperteguh hati yang rapuh, ia juga coba mematahkan tesis, alhayau minal iman. Malu itu bukan sebagian iman Opik telanjang yang mengejar popularitas sesa(a)t.


Dari saudaramu, di tempat melambatnya waktu hingga trilyunan tahun cahaya
M. Misbahul Ulum