Surat Untuk Generasi Tua

Senin, 05 November 2012

Orang tua selalu bersabda
Beginilah
Begitulah
Sedang masa mereka alpha
Seolah kebenaran saja adanya
Kesalahan dilemparkan
Borok ditutupi
Kita ditodong dengan pistol
Dipaksa membenarkan nyanyian mereka yang sumbang


Kita hidup untuk verifikasi
Setiap jengkal niat, pikir, gerak, ucap, tindak, wajib dikoreksi
Setiap huruf harus dicurigai
Dunia hanya sama dengan omong kosong di sebuah lorong
Omong kosong hanya patut dihidangkan sebagai santapan udara
Dihirup manusia untuk menghasilkan daya
Sebab surga telah tiada


Pada akhirnya, kesalahan adalah kebenaran yang tak pernah dipersoalkan
Kesombongan adalah sabda kebenaran
Dan kebodohan adalah kepintaran yang diagung-agungkan



Merobohkan Berhala Ijazah; Sebuah Usaha Memanusiakan Manusia*

Minggu, 26 Februari 2012

Saat mengamati ujian doktoral, Nietzsche (1891) pada waktu itu menulis:

Apakah tugas seluruh pendidikan tinggi? Mengubah manusia menjadi mesin
Apa sarannya? Orang harus belajar untuk tahan menjadi bosan
Bagaimana hal itu dicapai? Orang harus belajar untuk tahan menjadi bosan
Bagaimana hal itu dicapai? Dengan konsep kewajiban
...
Siapakah yang dipandang orang sempurna? Pegawai negara
...
Selanjutnya, pada tahun 1970, melalui Deschooling Society, giliran Ivan Illich yang berkhotbah ihwal pendidikan. Menurutnya, sekolah tidak serta merta sama dengan pendidikan. Sekolah, baginya, bersifat mekanistik dan telah memancung kemanusiaan. Institusi ini hadir sejalan dengan masyarakat industri yang kapitalistik. Alhasil, ijazah menjadi alat yang paling ampuh untuk menaikkan kelas sosial, bahkan nafas kehidupan, lantaran telah melegitimasi kompetensi sekaligus kualitas seorang manusia. Kini, betapapun kepandaian seseorang hingga melangit, bila tanpa ijazah ia acapkali hanya akan (dianggap) menjadi sampah. Sebaliknya, betapapun bodohnya seseorang hingga melata, bila dengan ijazah, ia akan (dianggap) seindah mutiara.


Bila dibandingkan dengan pesantren, dengan santri sebagai peserta didik, yang terjadi malah sebaliknya. Lazim dimafhumi bahwa Pesantren tidak menyediakan ijazah bagi santrinya. Kecuali pesantren yang kini sudah banyak dikombinasikan dengan sekolah. Dulu, kelulusan seorang santri tidak tersekat masa. Ia dianggap lulus bilamana siap mengabdi pada masyarakat. Tingkat keahliannya tidak diukur dari ijazah, tapi dari kebermanfaatannya pada masyarakat. Baik dalam bidang sosial, ekonomi, budaya, dan terutama ialah agama. Kelak, setelah mereka lama mengabdi, kebanyakan dari mereka akan bergelar Kyai tanpa memintanya dari masyarakat, akan tetapi diadili seadil-adilnya sesuai dengan pengabdiannya.


Gus Dur misalnya, sudah pernah belajar di beberapa universitas luar negeri seperti di Mesir, Bagdad, Canada, Australia, dlsb, tetapi tak pernah mengantongi ijazah. Hanya ilmu yang ia bawa pulang untuk disumbangkan ke masyarakat. Dengan tanpa ijazah, ketika tiada, tanpa meminta, ia diberi gelar Guru Bangsa


Dengan begitu, seorang santri, apalagi yang duduk di perguruan tinggi, sudah semestinya tidak menyekutukan Tuhan dengan ijazah. Bahwa yang memberi mulutnya makanan dan minuman bukanlah ijazah, akan tetapi Tuhan. Bahwa bukan ijazah yang bermanfaat bagi masyarakat, akan tetapi ilmu. Lebih dari itu, seorang santri, bila kuliah mengemban amanah untuk membebaskan lingkungannya sekaligus umat manusia. Memanusiakan robot-robot perguruan tinggi seperti yang dituduhkan Nietzche. Dengan kata lain, jikalau mengamini bahasa Albert Camus, novelis, esais dan penulis drama berkebangsaan Perancis yang memperoleh Nobel sastra pada 1957 dalam Le Mythe de Sisyphe (1942) atawa Myth of Sisyphus (1955), ialah membebaskan manusia yang terkurung dalam absurditas. Yakni orang yang hanya hidup untuk meritualkan ritus rutinitas dengan mendorong batu ke puncak gunung, namun, selalu gagal. Batu itu kembali menggelinding ke lembah dan ia harus kembali mengangkatnya ke puncak. Begitu seterusnya. Sekadar menjalani rutinitas dengan penuh siksaan sembari dengan bangga mengenakan mahkota kebanggaan dan kemenangan. Padahal, kematian sudah menunggu di ujung jalan. Mereka hidup tanpa arti! Sampai Mati!




*Majalah Sarung CSS Mora UGM

Filsafat Pembebasan

Kiranya, banyak pemikir yang sinis terhadap postmodernisme. Bahkan, dalam kamus The Modern-Day Dictionary of Received Ideas merumuskan bahwa kata postmodernisme tiada mempunyai arti. Jadi gunakan saja sesering mungkin, semaumu.

Namun, tidak demikian bagi I. Bambang Sugiharto. Ia berusaha mengulas ihwal postmodernisme dengan tuntas. Buku yang berjudul Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat ini berusaha membukakan mata pembaca bahwa akar masalah filsafat postmodern terletak pada bahasa. Lebih jauh, inti segala kegiatan bahasawi ialah pada metafor.

Stephen Toulmin, seorang penulis yang mencoba menjelajahi sejarah ide dasar berujar bahwa sejak 1720 hingga jauh ke dalam abad 20, sebagian besar filsuf dan ahli ilmu pengetahuan alam terus mempertahankan, dengan satu dan lain cara, investigasi mereka yang meletakkan kemanusiaan terpisah dari alam. Relasi keterpisahan seperti itu mengakibatkan relasi tuan hamba yang diperantarai oleh bahasa, dengan konsep serta identitas yang dibuat olehnya.

Bahasa dianggap terbatas untuk mendeskripsikan alam. Oleh karena itu, Sugiharto lebih memandang fungsi transformatif bahasa ketimbang fungsi deskriptifnya. Dalam fungsi deskriptif ini, metafor menjadi alat jajah yang terpenting. Oleh sebab itu, metafor harus dilihat sebagai peristiwa transformasi yang selalu ditandai oleh, meminjam istilah Ricoeur, kebenaran yang bersitegang (tensional truth).

Pada dasarnya dalam rangka memahami dirinya dan alam, manusia tidak mempunyai akses langsung murni dan rasionalitas sendiri yang cukup, bukan sesuatu yang pada dirinya sendiri memadai sebagai cermin untuk memahami realitas. Akibatnya, mau tak mau, cara dasar manusia untuk memahami alam dan dirinya hanyalah melalui metafor, yaitu dengan cara mempersamakan sesuatu yang lain, yang lebih dimengertinya, yang sebenarnya bukan hal itu sendiri.  Seperti kata Nietzsche, bahwa konsep bangkit melalui penyamaan apa yang tak sama. Padahal, katanya lagi, alam tak mengenal bentuk, tak mengenal konsep, hanya mengenal “sebuah X” yang tak akan tercapai dan terbatasi bagi dan oleh kita.

Oleh sebab itulah, filsafat dewasa ini harus mengarah ke pembebasan. Baik dari penjajahan alam oleh manusia serta manusia oleh manusia, terutama terkait ihwal kebahasaan tentunya. Inilah yang coba ditawarkan oleh Sugiharto.

Entah mengapa, tulisan orang macam Sugiharto, F. Budi Hardiman, hingga A. Setyo Wibowo selalu renyah. Meski yang diramu dan disajikan ialah penganan yang mengenyangkan batok kepala. Bagi orang-orang awam macam saya tentu sajian ini sangat pantas untuk dikunyah. Terlebih, tema postmodernisme yang kali ini diangkat oleh Sugiharto selalu selalu menawarkan dua hidangan, antara nihilis-dekonstruktif serta revisionis. Sebagai penghancur modernisme atau penerus serta perevisi modern.

Bila prakira saya tak salah, karena masih menduga dan meraba-raba karena masih tak tahu apa-apa, Sugiharto ingin menawarkan kemerdekaan alam dan manusia. Membebaskannya dari konsep, identitas, serta bahasa. Dengan begitu, sebagai orang yang terlahir di Timur, dengan lantang saya akan memekikkan seperti yang diucapkan dalang edan Sudjiwo Tedjo tanpa tedeng aling-aling, “Jancuk!”. Atau, mari membuat puisi, karena bahasa putik mampu menjangkau barang sejenak, suatu cakrawala yang selalu menjauh, di mana dunia dapat langsung—tanpa didekati dengan perantaraan konsep—hadir di dalam dan bersama kita, kata Goenawan Muhammad.