Pedoman Menjadi Sufi Sosial

Kamis, 24 Februari 2011



Judul Buku                   : Kunci Rahasia Ketuhanan
Penulis                         : Muchammad Hormus
Penerbit                       : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan                       : I, Januari 2010
Halaman                       : xiii + 203 halaman
       Dunia sufi yang biasa diidentikkan dengan anti-sosial, menjunjung tinggi “egoisme dan hedonisme spiritual” yang menanggalkan dunia kemasyarakatan telah menjadi sebuah stigma dalam dunia keislaman. Selain juga, dunia tasawuf dan sufisme telah terstigma menjadi sebuah alat pertaubatan di hari tua, yang sebentar lagi akan menemui sang khalik. Buku yang berjudul Kunci Rahasia Ketuhanan ini tak hanya mendobrak stigma dan paradigma dalam masyarakat islam tentang dunia tasawuf dan sufi. Buku pedoman sufi ini—jika peresensi boleh menyebutnya—telah menjadi panduan bagi masyarakat muslim untuk menjadi seorang sufi sejati yang tak hanya egois dan hedon spiritual, mulai dari paling dasar hingga yang paling kompleks untuk menjadi seorang sufi sosial. Mendobrak paradigma yang mengatakan bahwa dunia tasawuf hanya diperuntukkan orang-orang tua yang akan menjemput ajal sebagai manifestasi pertaubatan. Semakin dini pembelajaran tasawuf dengan mengukur kemampuan seorang anak, baik dengan hanya membelajarinya berdzikir dan beribadah sunnah, semakin berpeluang seorang anak tersebut untuk mukasyafah dengan Allah.

      Dalam bab-bab awal buku ini, para pembaca diajak untuk menyelami dan mengikuti pedoman singkat menjadi sufi pribadi. Dasar-dasar seorang sufi diulas tuntas yang dimulai dengan menyucikan hati. Kemudian dalam bab-bab berikutnya, para pembaca akan dijadikan seorang sufi sosial yang tak menanggalkan dunia sosialnya karena keasyikannya bercinta dengan tuhan untuk mengingat kembali bahwa seorang sufi adalah manusia, bukan lah tuhan, yang mengharuskannya untuk kembali dalam dunia sosialnya dalam rangka menjalankan perannya sebagai khalifah Allah yang membawa misi rohmatan lil ‘alamin. Dengan begitu, kepedulian sosial sang sufi akan terbangun oleh perannya sebagai seorang khalifah yang haus akan keadilan dan menolak penindasan. Dunia sosial yang membuatnya turun dari keasyikannya “bercinta” dengan tuhan tanpa menanggalkan kesufiannya, dengan tetap mengingat allah di tengah-tengah keramaian dunia sosial. Kritis berjuang demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Perubahan dan pergolakan sosial dijalani dengan “bertapa” di tengah keramaian seolah-olah Allah menginginkan perubahan itu.

      Selanjutnya, pembaca akan dijadikan seorang ilmuwan sufi. Terus mengembangkan berbagai ilmu dengan spirit ketauhidan. Pergolakan antara Fiqih dan Tasawuf pada era Al-Ghazali dicontohkan sebagai yang ideal, dimana Al-Ghazali telah berhasil mengawinkan antara kedua kubu tersebut. Ilmu-ilmu agama dihidupkannya dengan ruh tasawuf. Tak hanya sampai disitu, buku pedoman ini juga memberikan cara pemosisian diri sebagai seorang sufi ditengah pergolakan ilmu-ilmu dunia dan ilmu-ilmu agama, dalam benturan keilmuan barat dan timur.

      Di bagian akhir, buku ini memberikan bimbingan bagaimana menjadi seorang mursyid--guru rohani--dalam menghadapi gangguan para musuh, yang dipoles dengan tulisan-tulisan pribadi ketika penulis dalam masa jahdzab-gila karena Allah- dan setelahnya, baik dalam bentuk puisi atau uraian singkat.

      Kompleksitas pedoman menjadi seorang sufi sosial adalah mainstream buku yang ditawarkan oleh penulis sebagai seorang mursyid yang melakukan proses pergulatan pemikiran dan spiritual sejak sebagai aktivis mahasiswa hingga masa jadzab dan setelahnya telah menjadi sebuah nilai plus bagi buku ini. Bahkan sampai kritik-kritiknya terhadap para sufi terdahulu semisal Abu Yazid Al-Busthami dengan ittihad dan Al-Hallaj dengan hululnya sebagai sesama Sufi.

      Dalam konteks keindonesiaan saat ini. Buku ini memberikan kritik terhadap kasus korupsi yang semakin marak di Indonesia saat ini akibat krisis moralitas bangsa dan memberikan spirit kekhalifahan untuk segera menanggalkan korupsi sebagai seorang sufi yang berperan menjadi khalifatulloh di bumi dengan spirit ketauhidan untuk menanggalkan korupsi sebagai penindasan terhadap rakyat yang bersebrangan dengan konsep Sufi Sosial, haus akan keadilan dan menolak penindasan terhadap rakyat Indonesia. Bahkan, konsep umat dalam perkembangan sosiologis menjadi bermakna sebagai warga negara yang menjadi “tanggungan” para penguasa untuk tetap mengayominya dalam rangka menjalankan perannya sebagai kholifatulloh sebagaimana rosululloh menjadi rohmatan lil ‘alamin, dan kenapa bukan rohmatan lil muslimin. Semua warga harus diayomi tanpa adanya diskriminasi, dan semua yang tertindas harus ditolong tanpa memandang SARA. Buku yang relevan dengan konteks keindonesiaan saat ini, dan menawarkan jalan keluar bagi permasalahan bangsa saat ini. Semua tulisan seorang mursyid ini telah menjadi nilai lebih buku, yang tak hanya sebuah karangan biasa.

      Namun, yang menjadi agak ganjal dalam benak saya adalah, bagaimana seorang jadzab bisa menulis sebuah karangan yang pada masa tersebut ia berstatus gila—gila karena Allah—meskipun terkadang ingatannya kembali seperti semula namun sebentar dan kemudian kembali ke keadaan semula, hilang kesadaran jiwa tertarik pada tarikan cinta dan kasih sayang ilahi yaitu jadzab. Selain itu, mengapa buku yang sebenarnya bersifat private ini diterbitkan untuk diketahui publik? Jika boleh menebak disertai rasa hormat, mungkin buku ini adalah sebagai bukti bahwasanya penulis adalah sang sufi sosial sejati, yang ingin mengembangkan kesufiannya sebagai jawaban atas kasus-kasus yang melanda bangsanya dan menyengsarakan banyak masyarakat. itulah spirit seorang sufi sosial yang haus akan keadilan dan menolak penindasan. Namun, hal ini juga menjadi sebuah paradoks, dimana ketika mengkritik Abu Yazid Al-Busthomi dan Al-Hallaj ia mengkritik dengan nafsu. Dan dengan itu pula saya mengkritiknya, apa penerbitan buku ini juga merupakan sebuah nafsu yang menjadikan kesufiannya kurang sempurna layaknya Abu Yazid Al-Busthomi dan Al-Hallaj. Namun bagaimanapun juga seorang sufi yang mampu mengendalikan ego dan hedon spiritualnya adalah seorang yang tak hanya dekat dengan Allah, namun juga dengan manusia, yang tak rela melihat orang disekitarnya tertindas dan membuatnya “turun” untuk menjalankan misinya. Tak dapat diragukan lagi, buku ini adalah sebuah sumbangsih dari sang mursyid untuk bangsanya, apalagi yang membuat bangsa ini enggan membacanya? Baca dan rasakan lah perjalanan menjadi seorang sufi sosial layaknya Sang Mursyid—penulis buku ini.

Kehidupan Gie yang Kedua


Judul            : Soe Hok Gie.....sekali lagi
                        Buku, Pesta, dan Cinta di Alam Bangsanya.
Penulis          : Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R (ed.)
Penerbit        : KPG (Kepusatakaan Populer Gramedia) bekerja sama dengan Universitas Indonesia, ILUNI Universitas Indonesia, dan KOMPAS.
Tahun           : 2009.
Halaman        : XL + 512 halaman.

      Setelah proklamasi, kebenaran atas nama revolusi menghagemoni Indonesia, pahlawan proklamir kemerdekaanlah yang mencanangkannya, Soekarno. Segala tindakan pemerintah diatas namakan revolusi. Dan setelah memasuki era demokrasi terpimpin, kediktatoran Soekarno mulai menjadi, walaupun sebagian masyarakat membenarkan segala tindakannya karena ia adalah sang pahlawan proklamasi. Semua penentang revolusi dianggap sebagai musuh bangsa. PNI yang merupakan tunggangan politik Soekarno menjadikan PKI sebagai mitra berpolitiknya. Ia makin diktator dengan mengatasnamakan revolusi dan menggandeng PKI.
      Soekarno dilengserkan oleh ABRI dan para mahasiswa Indonesia. “panggung sandiwara” Soeharto sukses menumbangkan rezim Orde Lama dengan “partner”nya, mahasiswa. Para petinggi pergerakan mahasiswa yang ikut andil dalam pelengseran Orde Lama tersebut “dipinang” dengan kursi DPR GR. Para oportunis mahasiswa tergoda dengan kursi madu yang ditawarkan Soeharto. Mereka mengkhianati perjuangan mahasiswa.
      Pergolakan antara moral force dan political force semakin memanas setelah lengsernya Orde lama dengan “dipinangnya” para petinggi mahasiswa di DPR GR. Ialah Soe Hok Gie, salah seorang tokoh mahasiswa yang berpihak pada moral force. Para anggota PKI dikambing hitamkan dengan sebuah sandiwara, “tragedi lubang buaya.” Pembantaian massa anggota PKI pun terjadi. Soe Hok Gie yang menjadi “partner” Soeharto pun geram. Kritik-kritik terhadap pemerintahan Soeharto dilontarkannya lewat media massa. Ia seakan tak kuasa melihat ketidak adilan, termasuk ketidak adilan terhadap PKI yang dulunya merupakan “musuhnya.” Rasa ini tumbuh dalam dirnya dengan melihat penderitaan rakyat Indonesia dari dekat, terutama dengan mendaki gunung. Ia tak kuasa melihat “kepalsuan” kota Jakarta dan memilih untuk mengenali bangsa lebih dekat.
      Buku yang berjudul Soe Hok Gie Sekali Lagi merupakan refleksi kehidupan seorang idealis sejati secara kompleks yang ditulis oleh teman-teman sejawatnya ataupun teman “jauhnya” adalah mainstream buku ini, bahkan sisi lain kehidupan Soe Hok Gie pun diungkap dalam buku ini, yakni dunia percintaan Soe Hok Gie. Pada awal bagian buku, pembaca diajak para saksi mata tragedi Semeru mengikuti pendakian dan melihat kisah sedih tentang kematian seorang pejuang sejati bangsa dari dekat. Profile Gie dihidupkan kembali dalam buku ini, mulai dari Gie di lingkungan Universitas sampai dirinya sebagai seorang demonstran dan perjuangannya yang tulus didedikasikan untuk bangsa Indonesia, meski dirinya seakan “tak diakui” sebagai bagian dari bangsa ini. Tulisan-tulisan Gie sengaja dimuat kembali dalam buku ini agar para pembaca mengetahui perjuangan-perjuangan lewat tulisan-tulisan Soe Hok Gie, baik itu berupa catatan harian, tulisan di media massa, ataupun skipsinya.
      Kompleksitas buku ini, Kompleksitas profile seorang Gie yang diceritakan kembali oleh kawan-kawannya menjadi sebuah kelebihan buku ini. Profile utuh seorang Gie yang seakan tak cukup dituliskan dalam 500 halaman. Sampai dunia percintaan seorang Soe Hok Gie pun diulas. Tak hanya itu, dalam buku ini pun dilengkapi dengan tulisan orang-orang yang terilhami oleh sosok Gie termasuk Nicolas Syahputra. Bahkan buku tipis ini pun memuat sebuah resensi film berjudul GIE. Ditambah dengan tulisan-tulisan teman-teman “jauhnya” yang semakin melengkapi dan mewarnai buku ini.
      Namun, teman sejawat Gie pada saat ini pasti lah sudah berumur 60an tahun, sehingga membuat saya meragukan ingatan orang tua yang biasa mengidap pikun. Kemungkinan distorsi sangat terbuka lebar dalam buku ini. Di sisi lain, buku ini pun juga telah “mencuri” bagian-bagian buku lain yang telah ditulis sendiri oleh seorang Soe Hok Gie, sehingga pembaca cenderung akan bosan jika sudah pernah membaca karangan-karangan Soe Hok Gie.
      Tujuan dari penulisan buku ini tak lain adalah untuk menghadirkan kembali sosok Soe Hok Gie di tengah masyarakat Indonesia tertuma kalangan mahasiswa, sosok pemegang teguh idealisme yang menjadikannya sebagai pejuang sejati bangsa Indonesia. Oleh karena itu, buku ini layak dibaca oleh siapapun yang ingin memahami semangat nasionalisme seorang pemuda idealis, yaitu Soe Hok Gie. Terutama kalangan mahasiswa, khususnya mahasiswa pergerakan sebagai bahan renungan dalam aktivitsnya. Para pemuda sekarang adalah pemimpin bangsa di masa yang akan datang. Mereka adalah “pengawas” pemerintahan di masanya, yakni mahasiswa.

Orang Miskin Dianjurkan Punah

Andaikan di bioskop-bioskop abad 21 bertengger judul Pencuri Sepeda, mungkin penjual karcisnya akan lebih memilih ngopi di angkringan sambil ngobrol bersama teman-temannya daripada bekerja menjual karcis film. Begitupun saya, jika si penjual karcis saja ingin ngopi ke angkringan, mending saya tidur saja menjamu mimpi seketika membaca judul—membosankan—film itu. Untungnya saya –sering-- disebut mahasiswa. Terpaksa niat tersebut diselipkan dalam kebosanan dengan menikmati AC ruang multimedia.

Monggo

Pasca perang dunia kedua, depresi ekonomi melanda dunia, tak terkecuali Italia yang beribukotakan Roma. Akibatnya, industri perfilman pun ikut terlanda kesulitan ekonomi hingga membuat orang-orang perfilman menjadi “ekonom” –tanpa harus kuliah-- perfilman dengan kalkulator di hatinya. Depresi ini pula nampaknya yang melatarbelakangi De Sicca memilih genre neorealism dalam Bycicle Thieves; irit biaya, tanpa polesan. Dengan menggambarkan realitas sosial pasca perang dunia II di Italia, tepatnya Roma.
            Film yang diperankan oleh Lamberto Maggiorani (Ricci), seorang pekerja pabrik, Enzo Staiola (Bruno), seorang anak yang kebetulan ditemukan Sicca di lokasi syuting, dan Lianella Carell (Maria) ini menceritakan tentang “sepeda adalah kehidupan dan hidup adalah sepeda”. Antonio Ricci tiba-tiba ditawari pekerjaan sebagai penempel poster “tanpa mengantre” diharuskan mempunyai sepeda agar bisa bekerja sebagai penempel poster. Keluarga miskin macam Ricci sebagai kepala keluarga tentunya sulit untuk mendapatkan sepeda. Apalagi di tengah himpitan ekonomi pasca perang dunia. Lengkap sudah. Maria terpaksa menjual sprei mas kawin demi mendapatkan sepeda, tepatnya pekerjaan sang suami. Ironisnya, Ricci harus puas bekerja selama beberapa jam saja karena sewaktu menempel poster di hari pertamanya bekerja, sepeda kehidupannya dicuri orang. Ia pun diharuskan mencari sepeda kehidupannya agar tetap hidup. Bersama anaknya, Bruno, ia berusaha sekuat tenaga untuk mencari sepedanya, kehidupannya.
            Memang salah satu kelebihan film bergenre neorealism adalah menampilkan segalanya apa adanya. Setelah beberapa menit menonton film ini, keadaan apa adanya inilah yang membuat saya menggugurkan kebosanan sejak membaca judulnya. Emosi saya dipaksa patuh pada penderitaan masyarakat dalam film tersebut karena keadaan serupa sedikit banyak masih ada kemiripan dengan yang terjadi saat ini, di negara ini. Pertama, dua pengamen kecil yang ditendang oleh orang dewasa saat bekerja—mengamen. Bukankah saat ini masih banyak orang jijik dan tak sudi diameni?. Kedua, sepeda Ricci yang hilang. Bukankah memang faktor kemiskinan meningkatkan aksi kejahatan dan kriminal?. Beberapa stasiun televisi di negeri ini sering memberitakan aksi pencurian, pencopetan, dan perampokan yang dilandasi oleh faktor ekonomi demi menghidupi keluarga. Tak heran jika Ricci akhirnya juga mencuri sepeda demi menghidupi keluarganya.
            Ketiga, ketidak adilan yang menimpa Ricci saat mengadukan kehilangan sepedanya pada polisi. Polisi seakan enggan jika hanya mencarikan sepeda. Sepeda kehidupan seorang penempel poster. Para polisi hanya mau jika mencarikan emas. Emas kehidupan orang kaya. Jika saja penjual rumput di desa-desa terpencil kehilangan sabitnya, mungkinkah polisi akan mencarikan?. Orang miskin harus terus menderita seperti halnya Ricci. Seperti kata Iwan Fals, “Kesedihan hanya tontonan bagi mereka yang diperkuda jabatan.” Bahkan, saat Bruno ingin kencing ketika sedang mencari-cari sepeda bersama ayahnya sambil berlarian, ia harus menahan “hajat darurat” nomor duanya tersebut untuk terus menikmati penderitaan karena orang miskin dilarang pipis. Keempat, orang miskin dilarang beribadah. Ricci mendapati orang tua yang pernah dilahatnya berbincang dengan si pencuri sepedanya di Gereja. Lantas Ricci pun berusaha mengajak pak tua keluar untuk diinterogasi, kalau perlu secara paksa. Ajakan Ricci pada pak tua tersebut sontak membuat kekhusyukan ibadah jemaat-jemaat lain terganggu. Bagaimana bisa beribadah dengan khusyuk jika perut masih kosong?. Tuhan orang-orang miskin banyak yang tergantikan oleh perut. Himpitan ekonomi mengharuskan mereka bertuhankan perut.
            Orang miskin adalah tempat salah. Ricci juga disalahkan saat si pemuda yang diyakininya adalah pencuri (berpura-pura) sakit di depan umum. Ataupun pada saat Ricci hanya ingin melihat serial number salah satu sepeda. Jika anda bersalah, limpahkan kesalahan anda pada orang miskin. Niscaya mereka akan menerimanya dengan (terpaksa) ikhlas. Saya jadi teringat acara di salah satu stasiun televisi negeri ini yang mendatangkan sepasang suami istri tuna netra miskin yang dituduh menyimpan narkoba. Melihatpun mereka tak kuasa, apalagi menyimpan narkoba. Namun, mereka tetap dipenjara bertahun-tahun. Kurang ajarnya, mereka menerimanya dengan (terpaksa) ikhlas dan menjalaninya tanpa protes selama bertahun-tahun. Mungkin kekurangajran itu pula yang dilakukan oleh beberapa tahanan yang dituduh PKI di masa kemarin.
           Orang miskin memang jarang merasakan kebahagiaan. Mereka lebih akrab dengan penindasan. Begitupun Ricci dan Bruno, untuk bahagia saja mereka harus berpura-pura. Ricci berpura-pura bahagia saat mengajak Bruno untuk makan enak di sebuah restoran malah berimbas pada ditindasnya Bruno akibat melihat salah satu orang kaya tanpa henti memakan semua makanan enak yang tersedia. Namun, Bruno harus puas dengan seporsi makanan enak demi pura-pura bahagia. Kekayaan merupakan penindas kemiskinan.
            Di tengah himpitan permasalahan, terutama masalah perokonomian, masyarakat dipaksa percaya kepada paranormal selayaknya Ricci mempercayai paranormal yang dulunya tidak ia percaya sama sekali. Semua ke—apa adanya—an ditampilkan secara natural dalam film tanpa malam dengan mayoritas adegan di luar ruangan. Ke—apa adanya—an yang mirip dengan apa yang terjadi saat ini, di negeri ini, yang menjadi kelebihan film hitam putih sederhana. Film yang tak hilang ditelan zaman. Ke--serba kurang--an pasca perang dapat dijadikan oleh Sicca sebagai kelebihan film ini.
            Orang miskin memang bukan makhluk yang langkah, akan tetapi selalu saja diusahakan menjadi langkah dan punah. Minimal anggap saja tidak ada. mereka memang bukan hewan, akan tetapi selalu saja diusahakan menjadi hewan. Kiranya memang begitu nasib orang miskin. Jikalau perlu, buatlah itu menjadi fitrahnya. Dari dulu hingga sekarang, dimanapun, Orang Miskin Dianjurkan Punah.

Sup Persaudaraan

Sistematis-Hierarkis. Itulah komentar singkat saya setelah menonton The Battleship Potemkin. Lima adegan yang saling memiliki ketergantungan dan dimulai dengan tahapan terendah hingga tertinggi, runtut-urut. Adegan pertama, Men and The Maggots, menunjukkan kekesalan para awak kapal karena baru menyadari kalau selama ini mereka makan daging yang sudah busuk dan berbelatung. Adegan ini diawali dengan orasi Vakulinchuk, salah satunya dengan kalimat orasinya “Kita, pelaut Potemkin, harus mendukung saudara-saudara kita, kaum pekerja. Kita harus berdiri di front terdepan revolusi,”. Kedua, Drama In The Harbour, menceritakan pemberontakan para awak kapal melawan petinggi-petinggi kapal. Ketiga, A Dead Man Calls for Justice, berkisah tentang penyemayaman jasad Vakulinchuk di Odessa dengan hiruk pikuk tangis orang-orang setempat. Keempat, The Odessa Staircase, menceritakan ribuan orang Odessa yang berbela sungkawa dengan melakukan aksi mogok massa serta mengirimkan bahan makanan bagi pelaut-pelaut potemkin dan menuntut balas atas kematian Vakulinchuk yang seketika dijawab tentara rezim Tsar dengan senjata api. Kelima, The Meeting with The Squardon, kematian warga Odessa mendorong awak potemkin untuk membebaskan Odessa dari kekuasaan rezim Tsar dengan kapal-kapal Squadron sebagai rintangannya –meski akhirnya urung terjadi akibat rasa persaudaraan sesama kaum tertindas yang tumbuh dalam jiwa mereka.

Film besutan sutradara asal Rusia, Sergei Einstein ini dibuat pada tahun 1925 dengan mengambil setting waktu 1905 yang merupakan salah satu babak penting dalam Revolusi di Rusia. Peristiwa yang minim perencanaan ini turut andil dalam mengangkat derajat ketidakpercayaan rakyat Rusia pada Tsarisme hingga menemukan puncaknya pada tahun 1917, yakni Revolusi Oktober 1917. Einstein yang merupakan pendukung dan propagandis revolusi dinilai sukses dalam melakukan propagandanya dengan menggunakan film, terutama kelihaiannya mengaduk emosi penonton dengan pembantaian kaum Tsar dalam adegan The Odessa Staircase. Namun, agaknya propaganda Einstein kurang mempan terhadap saya—entah karena saya menonton dengan malas-malasan dan merokok. Malah sebaliknya, yang saya lihat dan garis bawahi adalah rasa persaudaraan para awak Potemkin, Squadron, dan warga Odessa. Rasa persaudaraan yang semakin hari diobral oleh dunia materi. Disitu, saya malah melihat rasa persaudaraan yang sangat mahal, namun berbandrol murah, yakni seharga semangkuk sup. Rasa persaudaraan ini pula yang nampaknya menjadikan rakyat kecil atau tertindas tidak terkalahkan, bahkan oleh pemuka agama (adegan dipukulnya pemuka agama saat mengatakan “ingatlah Tuhan”) sekalipun, atau jangan-jangan memang itu kehendak tuhan?—entahlah. Hal ini membuat saya membayangkan Rusia di zaman tersebut layaknya suatu desa pedalaman di Kulonprogo yang pernah saya kunjungi dengan rasa persaudaraannya. Lucu, unik, menarik.

Rusia memang identik dengan komunisme, tentunya dengan Marx, Si bapak ilmu sosial yang kondang dan mengurung keilmuan sosiohumaniora dalam dirinya. Hal ini mengingatkan saya akan perlakuan negeri ini pada seorang tokoh komunis yang merupakan salah satu founding father negeri ini, Tan Malaka. “Tan adalah senior Hatta dan Soekarno, ia menulis tentang republik ini 6 tahun sebelum Hatta dan 9 tahun sebelum Soekarno,” kata Harry Poeze dalam Seminar “Tan Malaka; Sejarah yang Terlupakan” di gedung Pasca Fisipol UGM. Dalam curhatannya di pembuka Madilog, dengan nada sindiran atas perbedaan perlakuan dan fasilitas yang didapatnya dan Soekarno, ia seakan menyindir negeri ini yang tidak adil karena ketidaktahuannya. Ironis-tragis.

Bolehlah sekiranya saya membanding-samakan semangat komunisme di Indonesia(dahulu) dan Rusia (dalam film tersebut), semangat persaudaraan atas ketertindasannya. Salah satunya lewat “kata-kata sakti”-nya. Kata-kata sakti dalam film tersebut antara lain, “All for one and one for all” dan “Land is our and future is our”. Sedangkan, di Indonesia, kalimat sakti tersebut terdapat dalam lagu “Darah Rakjat” yang sudah 30 tahun lebih dilarang diputar, dimainkan, dan didengar.
Berikut sebagian liriknya:
Darah rakjat masih berdjalan menderita sakit dan miskin.
Pada datangja pembalasan rakjat jang mendjadi hakim.
Rakjat jang mendjadi hakim, ajo, ajo bergerak sekarang.
Kemenangan pasti akan datang merahlah warna pandji.
Kita merah warna darah rakjat merah warna darah rakjat.

Pada awal film Battleship Potemkin diperlihatkan kekesalan para awak kapal karena telah memakan daging busuk dan berbelatung, tal terkecuali supnya. Sup yang mengakibatkan terbunuhnya pemimpin mereka (adegan yang menampilkan tulisan “killed for a plate of soup”). Sedangkan, di akhir, film ini ditutup dengan urungnya pertempuran Potemkin melawan Squadron karena rasa persaudaraan sesama kaum tertindas. Jika demikian, saya lebih suka menjuduli film ini dengan “Sup Persaudaraan”. Lebih nikmat didengar dan dibaca saat negeri ini sedang dilanda krisis persaudaraan. Apalagi jika dimakan, pasti lezat rasanya. Daripada Battleship Potemkin (Kapal Perang Potemkin) yang sarat dan mengandung konflik.

Mainan Kasih Sayang dan Kebahagiaan

Unsur pertama yang khas dalam modernisasi, yang membedakannya dari transformasi-transformasi sosial lainnya selama sejarah, adalah terbentuknya dua subsistem yang semakin tidak terkuasai dan semakin mengkolonisasikan dunia kehidupan. Subsistem ekonomi pasar (uang) dan subsistem kekuasaan administratif (negara birokratis) menjadikan warga masyarakat modern semakin mengarahkan tindakannya pada pertimbangan ekonomis dan penyesuaian pragmatis dengan peraturan-peraturan birokasi negara. (Franz Magnis Suseno, Majalah Basis edisi november-desember 2004)

                Setidaknya, ungkapan tersebut sedikit mewakili film Kane yang dibintangi, disutradarai, dan diproduseri oleh Orson Welles pada tahun 1941. Charles Foster Kane, tokoh utama dalam film, telah mempunyai kedua subsistem tersebut dengan uang dan kekuasaan. Kane nampaknya tidak sudi terkolonisasi dunia kehidupan, sebaliknya, ia ingin mengkolonisasi. Boleh jadi, itulah gambaran masyarakat modern saat ini dengan kerakusan tiada hentinya. Namun, semua yang dimiliki oleh Kane tidak begitu saja tercipta seketika, penuh lika-liku dan keunikan.
            Awalnya, Kane merupakan seorang anak desa yang pas-pas-an. Ibunya, mengharapkan Kane di masa kelak dapat mengenyam pendidikan dan menggapai masa depan gemilang. Dengan terpaksa ibu Kane merelakannya untuk diasuh oleh Thacther, begitupun Kane, dengan terpaksa mengasuhkan diri atas kehendak ibunya, meski pada awalnya ia meronta-ronta menolaknya. Setelah tumbuh hingga berusia 25 tahun, Kane diwarisi Tuan Thacther sebagian kekayaannya yang berupa Thatcher & Company. Namun, si gagah Kane lebih tertarik dan melirik surat kabar untuk dijadikan “mainan”-nya. Ia lebih memilih untuk mengelola The New York Inquirer, sebuah surat kabar yang hampir menjemput ajal. Ia bertekad untuk memberitakan setiap peristiwa secara jujur. Tentu dengan sedikit polesan berupa hiburan dan “framing” yang menarik agar dapat memikat hati pembaca dan pelanggannya. Berkat “kesenangan”-nya dengan mainan barunya, The New York Inquirer menjadi maju dengan pesat. Kemajuan ini mencapai puncaknya saat Kane berhasil mendirikan sebuah “kerajaan media” dengan mengakuisisi 37 surat kabar, dua siaran radio, hingga pabrik kertas. Mungkin benar sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa, “senapan dalam rezim otoriter tergantikan oleh media di era demokrasi.” Dengannya—media—pula Kane dapat menggenggam demokrasi, ia memenangkan pemilihan dengan “senapan”-nya.
                Itulah mainan seorang Kane. Meski berhak kaya raya, ia lebih memilih “bermain” dahulu daripada langsung menikmatinya. Bahkan, panggung politik juga “mainan” baginya. Harta, tahta, dan wanita telah menjadi “mainan”-nya. Namun, setelah “agak dewasa,” ia mulai bosan dengan segala “mainan”-nya, ia akhirnya termenung sendirian di kursi roda. Semua “mainan”-nya menghantarkannya pada kekosongan dan kehampaan. kesendirian tanpa henti menjadikan segala “mainan” kesayangannya busuk tertelan kekosongan dan kehampaan.
                Hanya satu kata yang terucapkan oleh Kane sebelum menjemput ajalnya, yakni “Rosebud”. Usut punya usut, bahkan oleh jurnalis yang mencoba untuk menjadi detektif meski akhirnya tidak berhasil menemukan apa dan atau siapa Rosebud, ternyata, Rosebud adalah tulisan (nama) papan ski Kane sewaktu kecil. Ternyata, orang modern sesempurna ini masih menginginkan mainan masa kecilnya. Dengan ini kita dapat mengatakan, bahwa uang bukan segalanya, segalanya bukan uang dan tidak butuh uang—meski untuk membeli papan ski juga uang—jika membandingkan harta kekayaan Kane dengan harga sebuah papan ski. Semua “mainan” Kane berupa harta, tahta, dan wanita tiada berharga sama sekali jika dibanding dengan papan ski masa kecilnya. Mainan yang menjanjikan kesenangan utuh nan orisinil. Harta, tahta, dan wanita hanya pelampiasan dari Kane untuk mainan tercintanya, Rosebud.
                Atau mungkin—jika boleh menebak—papan ski tersebutlah yang menjadi saksi terampasnya kasih sayang seorang anak kepada ibu dan sebaliknya. Saksi bisu perpisahan seorang anak dengan orang tua. Perpisahan yang tercipta akibat khayalan dan impian masa depan cerah yang biasa tergambar di layar televisi otak orang-orang zaman sekarang. Hingga, perpisahan pun bukan masalah apabila demi (bayangan) kebahagiaan di masa depan. Padahal ketika mengambil contoh Kane, semua khayalan itu roboh tergantikan romantisme masa lalu. Jika berjumpa dengan Kane, mungkin mulut saya akan keceplosan berucap, “Kane, kasih sayang dan kebahagiaan tidak bakal sebanding dengan dunia beserta seluruh isinya, kawan”.

Zaman Edan

Sekolah perfilman Amerika Serikat lebih bisa dikatakan menyiapkan tenaga kerja jagad perfilman daripada mendidik tentang perfilman. Lebih tepat kiranya apabila menyematkan nama ladang bisnis daripada sekolah kepadanya. Permasalahan yang dialami oleh hampir semua “sekolah” saat ini. mem-barang-kan para pembelajar agar bisa “dijual” setelah lulus. Anehnya, barang berotak ini pun masih banyak yang secara sukarela dan senang hati “berinvestasi” untuk dijadikan barang dagangan. Kasarnya, ingin jadi pelacur pun harus membayar investasi dahulu pada pemilik rumah pelacuran. Memang semangat zaman mengharuskan manusia menjadi pelacur, kecuali sang pemilik rumah pelacuran dan orang-orang terdekatnya.


Kedatangan teknologi semakin menihilkan dinamika inovasi kreasi artistik. Teknologi adalah seni menaklukkan (hati) audiens yang dianggap sebagai “raja” sekaligus “barang”. Hollywood sebagai panglima perang terkuat saat ini, siap menantang para pesaing agar penjajahan budaya tetap terlaksana dengan semestinya. Era kolonialisasi (sering dianggap) telah usai. Padahal ia tetap ada di tengah-tengah kita. Agaknya, peribahasa “kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak” lebih tepat untuk menggambarkan kebesaran penjajah yang menyimaharajakan modal di zaman ini dengan beromantisme pada penajajahan masa lalu. Sesuatu yang abstrak yang menguasai dunia adalah modal, tutur Pram. Kurang lebih seperti tuhan— abstrak—yang disembah—mungkin hampir—seluruh umat manusia. Tidak heran jika zaman modern yang diawali dan ditandai dengan pencerahan dikritik Teori Kritis Madzhab Frankfurt, yakni oleh Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno dalam Dialectic of Enlightenment bahwasanya mitos telah menjadi pencerahan dan pencerahan menjadi mitologi kembali.


Bisikan keindahan film Hollywood menjadi kartu AS US (United States) dalam rencana bisnisnya. Studio Hollywood mengupayakan penciptaan mimpi Amerika agar nampak jelas (dapat diraih) dengan para bintang sebagai alatnya. Para (aktor/aktris) bintang tak lebih seperti kucing mengagungkan yang tak berdaya. Talenta mereka dieksploitasi oleh hartawan studio untuk harta yang sebagian kecil diberikan kepada kucing berotaknya. Tak ayal, para penonton yang kelaparan dan hampir mati akibat ketahanannya berpuasa pun dibuat tak berdaya dengan menghamba kesenangan iming-iming sulap yang akan segera ditampilkan. Teknologi datang menolong untuk me-nyata-kan yang tidak nyata. Kualitas ide pun dikubur secara perlahan hingga batas terdalam olehnya. Tak urung, zaman modern yang beranak teknologi pun telah dikritik juga oleh Adorno dan Horkheimer karena telah mendominasi, temasuk di dalamnya terhadap alam. Meski mereka berdua secara jelas mengakui adanya kebutuhan makanan, pertanian, dan industri—bagi teknologi secara umum—mereka membedakan penguasaan alam atau –lebih merdunya—bersahabat dengan alam dan dominasi terhadapnya. Seandainya saja saat ini mereka masih hidup, mungkin bakal tidak sudi membeli AC dalam menghadapi panasnya iklim akibat pemanasan global. (hehehehe)


Panglima Hollywood semakin tiada tanding dengan persenjataan berbagai media yang turut menyokongnya. Padahal, industri perfilman tak ubahnya industri mobil yang berorientasi pada keuntungan dan perkembangbiakannya. Mobil yang terlihat besar dan mengkilap setelah jadi yang tidak terlihat dibalik kapnya atau saat masih dalam ruang pemotongan. Industri perfilman hanya cukup mengandalakan tampilan hebat dan indahnya agar laku keras di pasaran. Kilapan dan keindahannya sudah cukup untuk memikat seseorang. Ia tak lebih dari sebuah kebohongan yang menawarkan kehampaan. Hollywood merupakan bisnis beruanglingkup seluruh dunia yang memproduksi nilai-nilai Amerika. Dengan demikian, budaya dan nilai lain yang tidak memiliki panglima sekaliber Hollywood yang dapat menandinginya akan kalah dan menjadi jajahannya. Dunia telah dibentuk untuk menyasarkan manusia. Sungguh, hidup di belantara rimba berlogika, ber-sains, dan berobjektif (saja) memang sangat susah. Apakah ini yang disebut Zaman Edan?

Dibalik Peristiwa 10 November 1945

Judul Buku : Resolusi Jihad Paling Syar’i
Penulis : Gugun El-Guyanie
Penerbit : Pustaka Pesantren
Tahun : Cetakan I, 2010
Tebal : xiv + 128 halaman

Resolusi Jihad berperan penting dalam mengobarkan semangat 10 November 1945 arek-arek Surabaya.

Siapa yang tidak tahu Hari Pahlawan 10 November dengan Bung Tomo sebagai tokoh legendarisnya? Namun, siapa yang tahu tentang Resolusi Jihad? Barangkali banyak yang tidak tahu tentang Resolusi Jihad NU yang dideklarasikan oleh para kiai se-Jawa dan Madura pada tanggal 22 Oktober 1945, sebelum peristiwa bersejarah 10 November. Buku Gugun El-Guyanie ini mencoba melakukan penelusuran terhadap sejarah yang terlupakan untuk menyingkap tabir sejarah kepahlawanan negeri ini.

Adagium yang berbunyi “sejarah selalu diciptakan oleh penguasa” agaknya memang benar adanya di negeri ini. Masyarakat Indonesia sengaja dipikunkan dengan kurikulum pendidikan sejarah. Sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah tidak pernah mengenal Resolusi Jihad, apalagi KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri Organisasi Nahdlatul Ulama dan ketua Masyumi yang dipercaya sebagai penasehat PETA (Pembela Tanah Air) sebagai pemegang komandonya. Keterangan tentang Resolusi Jihad serta KH. Hasyim Asy’ari sangat minim atau bahkan hampir tidak ada sama sekali dalam literatur sejarah Indonesia. Peran kaum tradisionalis-pesantren seakan tidak diakui oleh negeri ini. Meskipun banyak kiai yang mendapatkan gelar pahlawan nasional dari pemerintah. Penguasa negeri dan masyarakat yang melupakan sejarah Resolusi Jihad dari tinta emas sejarah menjadikan penghargaan tersebut tidak berarti.

NU sendiri lahir dari tiga embrio pergerakan, yakni Nahdlatul Wathan yang menjadi spirit politik nasionalis, Taswirul Afkar sebagai spirit intelektual pendidikan, dan Nahdlatut Tujjar yang menjadi spirit ekonomi sebagai wujud respon kepedulian dan kepekaan ulama atas situasi dan kondisi yang dialami oleh masyarakat Indonesia akibat penjajahan sebelum lahirnya NU. Nahdlatul Wathan (Pergerakan Tanah Air) lahir pada tahun 1914 dan pada nantinya melahirkan Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air) yang diprakarsai oleh KH. Wahab Hasbullah pada tahun 1924. Para kaum tradisionalis-pesantren telah lebih dahulu memiliki kesadaran nasionalis yang melampaui kepentingan-kepentingan primordial yang diakomodasi oleh organisasi kedaerahan yang banyak beridiri pada masa tersebut.

Hal tersebut tidak bisa terlepas dari keislaman orang NU. Islamnya orang NU adalah Islam yang Indonesia. Bagi orang NU, menjadi Islam seratus persen berarti menjadi nasionalis seratus persen karena Hubbul Wathan Minal Iman (mencintai negara adalah sebagian dari iman). Sikap nasionalisme dan anti penjajah inilah yang nantinya melahirkan Resolusi Jihad. Dalam konteks Resolusi Jihad, NU menjadikan pengertian jihad yang sering dikutip Gus Dur dari kitab fathul mu’in sebagai rujukan, yakni, “daf’u dlarar ma’bumin musliman kana au ghaira muslim” (melindungi kehormatan orang-orang yang perlu dibela, baik Muslim maupun non Muslim). Dengan kata lain, berjihad melindungi kehormatan seluruh bangsa Indonesia, baik yang Muslim maupun non Muslim, asalkan satu bangsa, satu nasib, seperjuangan.

Resolusi Jihad NU terdiri dari lima butir, Pertama, Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus wajib dipertahankan. Kedua, Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan. Ketiga, musuh Republik Indonesia, terutama Belanda yang datang dengan membonceng tugas-tugas tentara Sekutu (Inggris) dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia. Keempat, Umat islam terutama Nahdlatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia. Kelima, kewajiban tersebut adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban tiap-tiap orang Islam (fardlu ‘ain) yang berrada pada radius 94 km (jarak dimana umat Islam diperkenankan sembahyang jama’ dan qasar). Adapun mereka yang berada diluar jarak tersebut berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 km tersebut (hal 17-18 dan 74-75).

Fatwa tersebutlah--setidaknya menurut Gugun-- yang mendorong masyarakat Surabaya pada khususnya, dan Jawa Timur pada umumnya, untuk terlibat dalam perang 10 November 1945. Semangat religiusitas dan nasionalisme tersebut lah yang membawa Surabaya menjadi kota pahlawan dan kota santri. Perlu diingat bahwasanya NU didirikan di Jawa Timur pada tahun 1926. Dengan demikian, kota Surabaya memiliki nilai khas yang unik, baik dari segi politik, budaya, maupun religiusitasnya. Tidak heran jika hampir separo komandan PETA adalah para kiai yang merupakan bagian dari laskar Hizbullah-Sabilillah yang pada nantinya memberikan sumbangan besar bagi TNI karena sebagian besar anggotanya berasal dari PETA.

Menurut Bruinessen, Resolusi Jihad tersebut berdampak besar dalam mengobarkan semangat 10 November 1945. Sayangnya, Resolusi Jihad ini tidak mendapatkan perhatian yang layak dari para sejarawan (hal 34-35 dan 98). Tidak heran, jika Jenderal (Purn) ZA Maulani pernah mengatakan bahwa Indonesia sangat zalim dalam merekam perjalanan sejarah bangsanya sendiri (hal 48). Menarik untuk disimak, ketika Gugun membantah pernyataan MC Ricklefs, seorang sejarawan kontemporer dengan karya berjudul Sejarah Indonesia Modern yang seringkali dijadikan buku pegangan sejarah oleh mahasiswa perguruan tinggi di Indonesia, bahwa kepemimpinan barisan Hizbullah didominasi oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah dan anggota-anggota kelompok PSII dari masa sebelum perang yang pucuk kepemimpinannya dipegang oleh Agus Salim. Padahal, barisan Hizbullah dipimpin oleh KH. Zaenal Arifin dan pemimpin tertinggi Sabilillah adalah KH. Masykur. Dengan bantahan Gugun, begitu ia akrab disapa, setidaknya telah terbuktikan bahwa perguruan tinggi di Indonesia telah sedikit tertular “wabah pikun nasional”.

Namun, apakah makna nasionalisme menurut perspektif para pendiri NU. Apakah yang dimaksud dengan wathan adalah negara (state)? Atau bangsa (nation)? Atau negara bangsa (nation-state)? Bahasan yang belum “dituntaskan” oleh Benedict Anderson dan hanya dimaknai sebagai Komunitas Terbayang. Namun, nasionalisme ini pula yang akan menjadikan kita tahu, mengapa buku ini diberi judul “Resolusi Jihad Paling Syar’i” oleh Gugun. Jihad dengan alas nasionalisme, bukan jihad yang dalam beberapa tahun ini berbelok menjadi terorisme yang malah merongrong rasa persatuan negeri dan nasionalisme itu sendiri.

Meski Gugun merupakan salah seorang warga nahdliyyin, buku ini sepatutnya tidak hanya dipandang sebelah mata sebagai opini dari orang NU belaka. Pasalnya buku yang merupakan skripsinya pada jurusan Jinayah Siyasah (Pidana Tata Negara Islam) Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini merupakan karya ilmiah yang memenuhi standar keobjektifan. Tentu dengan sedikit menaburi bumbu skeptisisme karena kedekatan emosional Gugun dengan NU. Terlepas dari itu semua, buku ini selayaknya diapresiasi oleh negeri ini sebagai karya sejarah yang berupaya membuka tabir gelap sejarah kepahlawanan Indonesia. Sudah saatnya negeri ini meluruskan sejarah dan mengobati “wabah pikun nasional” yang dideritanya.

Warning: Keisengan dan Keseloan

Kiranya, apa yang menarik dari sebuah film kartun? Sedang, kemarin, ibu dan nenek menyebutnya film setan karena penayangannya tepat di waktu sholat maghrib.

              Perkenalan dimulai dari pembacaan sewaktu SMA (pernah SMA?!). Berlanjut menjadi kegemaran dikarenakan oleh seorang teman yang menjadi “bandar” komik. Hingga sekarang. Dibantu oleh “Mbah Google” demi mendapatkan komik versi digital untuk mengisi keseloan yang ada.

              Apalagi kalau bukan One Piece. Cerita bajak laut yang menginginkan harta karun One Piece untuk menjadikannya Raja Baja Laut. Entah tertular oleh mata kuliah kajian film yang menganjurkan menonton film dengan agak serius. Misalnya dari pembacaan tetang Iron Man yang lalu. Ataupun yang lainnya. Terdorong untuk menonton One Piece dengan sedikit kadar porsi keseriusan. Pun, menggarap sebuah film bukanlah kebetulan untuk iseng-isengan seperti penulis (ini). Apalagi, film kartun ini digarap di sebuah negara penghasil komik dan film kartun. Seakan komik hanya ada di negara ini. Jepang.

              Jepang. Negara Asia yang dengan gagahnya menantang Eropa yang telah “berkuasa” sejak revolusi inggris dan masa pencerahan. Mungkin saja, One Piece ini adalah sebuah “cultural counter” atau semacam pembendung sekaligus pelawan bagi Eropa. Mungkin.

              One Piece. Sebuah judul yang (sudah) agak tidak jelas. Secara serampangan karena ketidakfahaman dan ketidakmampuan berbahasa asing, One= Satu, Piece= Bagian, dan One Piece= sebuah bagian (?!). Mungkin akan menjadi jelas bagi otak yang mampu. Namun, bagi otak pembaca dan penulis (ini), agaknya memang belum mampu tercerna dengan baik.

               Pun, nampaknya, harta karun tersebut tak kunjung menampakkan kejelasannya. Apakah ia sebuah tumpukan emas, intan berlian, ataupun barang berharga nan bernilai materi lainnya. Luffy, begitu ia akrab disapa, tokoh utama dalam film ini, berjuang mati-matian untuk menjadi Raja Bajak Laut. Meskipun, hingga sekarang, Raja Bajak laut “terantagoniskan.”

               Gol D. Roger, seorang Raja Bajak laut telah diadili dengan pancungan di sebuah altar penghakiman oleh Pemerintahan Dunia. Untungnya, kebetulan, One Piece yang telah tertonton kemarin adalah eksekusi anak Gol D. Roger, Gol D. Ace, saudara Luffy, si tokoh utama. Ada yang aneh dan keluar dari mainstream—setidaknya menurut penulis yang iseng ini. Mengapa pembuat film yang sejatinya komik ini seakan ingin membunuh tokoh utama di akhir cerita? Bagaimana tidak. Bukankah ketika One Piece diperoleh Luffy, si Raja Bajak Laut akan mati tereksekusi seperti Roger? Lantas, untuk apa harta karun kematian ini?

               Tiba-tiba pikiran begok iseng-iseng mengajak berbincang si Selo. “Kebebasan, lo Selo. Laut adalah simbol kebebasan yang tiada batas untuk melakukan semua keinginan.” Lantas, “untuk apa mencari One Piece di tengah kebebasan tiada batas itu, Pikiran Begok? Mati?,” “Bukankah kebebasan harus terbatasi dan tergunakan, lo Selo? Bukankah kamu telah diajari khoiru an-nasi ‘anfa’uhum linnas (sebaik-baiknya manusia adalah yang memberi kemanfaatan bagi manusia lainnya). Minimal berguna sebelum mati. Meski cita-cita kebergunaan atau kemanfaatan itu harus ditebus dan sekaligus menjadi kematian, lo Selo. Mulia bukan?” “Lantas untuk apa, dengan cara apa, gok Begok?,” “Ya untuk memberi kemanfaatan bagi warga seluruh bajak laut, mengayomi mereka dengan kerajabajaklautanmu, menentang penguasa zaman dan zamannya sekaligus dengan gagah berani dan tiada henti seperti Luffy. Serta mempunyai posisi tawar dengan Pemerintahan Dunia? Nikmat bukan? Hidup bebas, mempunyai nilai kemanfaatan bagi orang banyak dan nilai tawar dengan penguasa? Apalagi penguasa zaman. Alangkah nikmatnya kematian berbekal kemanfaatan?” Si Selo hanya mengangguk-angguk setengah mengamini usulan Si Begok.

Lanjutkan keisengan dan keseloan.
                Drama eksekusi Portgas D. Ace, alias Gol D. Ace berjalan mendebarkan dengan peperangan antar dua kubu, pemerintahan dan bajak laut. Pemerintah dengan “seragam” dan “persenjataan lengkapnya” melawan para bajak laut dengan “kesederhanaan,” “ketidakteraturan,” “keacak-acakan,” “kebersamaan,” “kekreatifan,” ”kearifan,” dan “Ke-An yang lainnya.” Mirip kiranya dengan perang Indonesia melawan penjajah kemarin. Mirip kiranya dengan perkotaan dan pedesaan. Mirip kiranya dengan tradisional dan modern. Mirip kiranya dengan penguasa dan rakyat. Mirip kiranya dengan zaman.

                Peperangan untuk memperebutkan anak dari si Raja Bajak Laut Gol D. Roger dan Portgas D. Rouge. Cucu dari Vice Admiral Legendaris, Monkey D. Garp, dari pihak pemerintahan musuh para bajak laut. Pengasuh kedua cucunya, Ace dan Luffy sewaktu keduanya masih bocah. Ace anak Raja Bajak Laut, musuh nomer wahid Pemerintahan Dunia. Sedang, Luffy bernama lengkap Monkey D. Luffy merupakan anak Sang Revolusioner Monkey D. Dragon, buronan nomer wahid Pemerintahan Dunia. Ia—Luffy—sendiri sedang mendaki tangga mengikuti jejak Bapaknya. Rumit serumit penulisnya. Sungguh keluarga yang unik, lucu, rumit, aneh, dan tentunya, Edan.

                Pemenang peperangan akan bergelar Keadilan. Ace adalah simbol Keadilan yang diperebutkan oleh kedua kubu. Pemerintah yang berusaha “memberandalkan” bajak laut di mata dunia. Bajak laut yang berusaha keras memperoleh sejumput keinginan dan kebebasan. Pemerintah yang melabeli dirinya sebagai Keadilan Absolut. Bajak laut yang tidak mempedulikan keadilan dan tidak tahu beban Keadilan yang berada dipundaknya, asal kebutuhan, keinginan, dan kebebasan tergenapi.

                Bagaimanakah dengan Keadilan pada saat ini? bukankan ia tersempitkan dengan uang dan kekuasaan? Bukankah sudah mirip? Untuk melakukan penindasan terhadap yang tidak bersumberdaya. Berusaha sekuat tenaga atas nama Keadilan versi dirinya. Sedang, musuh yang dihadapi terlalu polos dan lugu untuk memaknai Keadilan yang sebenarnya berada dipundaknya. Pun, Terkadang harus menyerahkan keadilan yang berada di pundaknya untuk dijadikan sesaji bagi penguasa yang berduit atau duit yang berkuasa. Ayolah! Kamu Luffy, kawan. Bajak Laut. Jangan memalukan dan mudah menyerah!

                Jangan menyerah melawan kegilaan pemerintah yang dipersenjatai meriam, media, pasukan, seragam, dan keteraturan. Lihat saja di adegan peperangan memperebutkan Ace. Bagaimana tidak gila. Bartholomew Kuma, seorang Sichibukai, salah satu pasukan terhebat dan mengerikan itu diciptakan dengan Bibel di tangan. Admiral Sengoku dengan perubahannya menjadi Budha. Ternyata pemerintah mempunyai pasukan yang agamis. Semoga agama-agama umat manusia tidak dijadikan senjata oleh pemerintah. Oleh penguasa. Oleh zaman.

                Meskipun pemerintah telah menyiarkan lewat media tentang “kebrandalan” kita. Acuhkan saja. Anjing menggonggong bajak laut berlalu. Aku ya aku, kamu ya kamu, dia ya dia, mereka ya mereka, kalian ya kalian, asalkan, kita ya kita, kawan. Kita telah disediakan cermin oleh Luffy dan Chobby. Dua sahabat di masa kecil. Tetap sahabat di masa dewasa. Meski “diformalkan” sebagai musuh. Bukankah  sekarang musim buah formalitas dari negeri antah berantah?

                 Jalan apapun yang kamu ambil, dari manapun kamu berasal, kita tetap sahabat dan saudara. Saudara yang saling mendukung dan memotivasi. Meski harus adu pukul di panggung teater. Pukulanmu akan terasa nikmat, kawan. Meski nampak di panggung sebagai musuh. Kita akan tetap menjadi saudara semanusia, kawan. Meminum secangkir kopi, merokok beberapa batang, dan bersenda gurau selepas manggung. Untuk melepas kelelahan teatrikal kita.

                 Salahkan saja Luffy, jika anak-anak tidak bisa dan bingung bercita-cita. Cita-cita mereka hanya sebatas hidup di lautan, mendapatkan harta karun One Piece, menjadi Raja Bajak Laut, kemudian mati. Memang dasar cita-cita anak-anak begok zaman sekarang!

Film, Qur'an, Tafsiran, Sangkar

“Tidak ada yang salah dengan seekor gagak.” Dibandingkan burung yang terkurung dalam sangkar, Gagak jauh lebih baik.” Bisa menjadi seperti Gagak sudah cukup bagiku.”

--Crows Zero—
“Pertarungan jalanan dan bela diri itu beda.”

--Sherizawa—

Houzen, seragam abu-abu agak putih beserta mayoritas kebotakanmu itu sangkar. Bela dirimu juga sangkar. Sedang, Suzuran, meski terdapat keseragaman dalam Jas hitamnya. Mereka lebih “unggul” dalam “acak-acak”-annya. Sedang, pertarungan jalanan mereka telah keluar sangkar.

Putih bisa saja menjadi normal apabila ia mayoritas dari sebuah bintik Hitam pada baju. Begitupun Hitam boleh saja menjadi normal apabila ia mayoritas dari sebuah titik putih pada Jas. Difabel bisa saja menjadi tidak normal di hadapan manusia dengan fisik utuh. Seorang manusia berfisik utuh boleh saja menjadi tidak normal manakala berhadapan dengan manusia-manusia difabel. Seorang koruptor bisa saja menjadi tidak normal di hadapan manusia-manusia jujur. Seorang manusia jujur boleh saja menjadi tidak normal di hadapan manusia-manusia korup. Begitupun seterusnya. Dan seterusnya. “Normal” dan “Anomali” hanya masalah “Sisi”. Lantas, bagaimana kalau dihapuskan saja keduanya?

Jika ada orang mensinisi hiperbolis tafsiran. Maka, lahir jawaban “hanya tafsiran yang bisa diusahakan dan didapatkan.”
Dimana Titik Temu dan Pisah Antara Film dan Kitab Suci?

Bagaiman kalau mengibaratkan “Pencipta Film” sebagai “Pencipta Kitab Suci”?

Bagaimana kalau mengibaratkan Film sebagai Kitab Suci?

Lantas, yang dipunyai penonton, pembaca, sekaligus makhluk adalah tafsir mengenai lembaran-lembaran kitab suci dan deretan adegan-adegan. Tentunya, si Empunya lah yang mengetahui makna orisinil ciptaannya. Lantas, sebagai penonton film ataupun pembaca kitab suci, hanya rekaan, dugaan, tafsiran yang dipunya. Nikmati dan resapi saja tafsiran untuk bisa toleran. Jika tidak demikian, diri tak akan kuat hingga menjelmakan pribadi menjadi (sok) Tuhan. Pembunuhan dihalalkan sebagai ganjaran dari Tuhan. Sedang, yang dimilikinya hanya sebatas tafsiran. Sebut saja Derrida atupun Baudrillard yang mensinisi “simbol”, “bahasa” yang mirip dengan “tafsiran” atas keagungan “makna”. Namun, sinis mereka hanya pada “penyesatan.”

Sangkar
Sangkar, agar kamu sadar batas kemakhlukan.
Sangkar, agar kamu tak berani menyaingi tuhanmu.
Sangkar, dibuat Tuhan sebagai penanda kemakhlukan.
Sangkar, agar tahu dan sadar diri.
Sangkar, memahami keterbatasan.
Sangkar, apabila kurang luas, maka keluar lah.

Sangkar, begitu pengertian dengan penghuninya karena dibuat oleh Si Empu Sangkar Agung. ESA.

Sangkar kandungan.
Menuju sangkar gendongan.
Menuju sangkar sekolahan.
SD, SMP, SMP, Universitas, Fakultas, Jurusan.
Menuju sangkar dunia.
Jagad, bumi, negara, provinsi, kabupaten, kecamatan, desa, dusun, RW, RT.
Menuju sangkar kelompok.
Menuju sangkar pribadi.
Sangkar telah menjangkar hingga mengakar.

Hanya tinggal menunggu.
Saat dikeluarkan dari sangkar.
Saat pemusnahan sangkar.
Saat tiba kebebasan.
Hanya sesaat.
Sebelum dihantarkan pada sangkar haribaan.
Maka tiada sangkar selain sangkar.
Batas kebebasan.
Sangkar Kesejatian.
Ternyata, urip mung mampir nang kurungan.