Ibukota Jakarta yang Jahat

Senin, 07 November 2011

Judul Buku          : Televisi Jakarta Di Atas Indonesia: Kisah Kegagalan Sistem Televisi Berjaringan Di Indonesia
Penulis                 : Ade Armando
Penerbit              : Bentang
Cetakan               : Pertama, April 2011
Tebal                     : xvi + 294 halaman

Sistem televisi komersial yang sentralistis pada dasarnya merugikan masyarakat, baik secara politik, ekonomi maupun sosial-budaya. Memang pahit, tapi itulah kenyataannya saat ini, (televisi) Jakarta di atas segalanya, di atas Indonesia.

Barangkali masih banyak yang mengira bahwa dengan menyaksikan televisi secara gratis, kita telah diuntungkan. Padahal, dengan sistem pertelevisian sentralistis yang hingga kini masih diterapkan, masyarakat Indonesia secara umum bukannya mendapat keuntungan, malah dirugikan. Masyarakat sebagai pemilik frekuensi siaran yang terbatas jumlahnya serta memiliki nilai ekonomi dan politik yang tinggi seharusnya memperoleh keuntungan baik secara sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

Dalam sistem pertelevisian di Indonesia saat ini, seluruh isi siaran sepenuhnya disiapkan, dibuat, dan dipancarkan dari Jakarta menuju rumah-rumah penduduk di seluruh Indonesia dengan hanya diperantarai stasiun relai di setiap daerah. Sebagai akibatnya, dinamika politik, sosial, serta budaya sebuah daerah di luar Jakarta kurang mendapat tempat karena dianggap hanya relevan bagi masyarakat setempat. Dengan demikian, hanya akan mendapat sedikit penonton dan dianggap kurang menguntungkan oleh stasiun-stasiun televisi raksasa di Jakarta. Di sisi lain, segenap keuntungan ekonomi yang bernilai triliunan rupiah hanya mengalir ke Jakarta. Alhasil, masyarakat di luar Jakarta tidak hanya akan menjadi penonton, tapi mereka juga tidak akan menikmati aliran uang iklan, peluang kesempatan kerja, sarana promosi, ruang diskusi politik, ruang ekspresi seni dan kebudayaan, atau juga ruang perekat sosial.

Sebenarnya cukup mudah untuk mengidentifikasi kesentralistisan sistem pertelevisian. Hal ini dapat dibuktikan dengan perbedaan mencolok antara gambaran media cetak, media radio, dan media televisi. Dalam sistem peradioan, di setiap kota terdapat stasiun-stasiun radio yang melayani kebutuhan konsumen kota tersebut secara spesifik. Dan yang tercatat sebagai stasiun teratas di setiap wilayah pun berbeda. Sebagai contoh, menurut data Media Scene (2008), tiga radio dengan jumlah pendengar terbanyak di Jakarta adalah: Dangdut TPI, Bens, dan Gen-FM. Di Bandung, yang memperoleh rating tertinggi adalah Dahlia, Rama, dan 99Ers. Di Semarang, Kis FM, Gadjah Mada, dan Pop FM.

Pola serupa juga terlihat dalam media cetak. Di masing-masing kota di Indonesia, koran yang mendominasi pun juga berbeda. Mungkin banyak yang menyangka bahwa harian Kompas yang terbit di Jakarta adalah harian terbesar di Indonesia. Namun, data Media Scene (2008) menunjukkan bahwa koran dengan jumlah pembaca terbanyak adalah Jawa Pos (1,4 juta pembaca), di atas Kompas (1,3 pembaca). Kompas menjadi nomor satu hanya di Jakarta. Di wilayah lain, pembaca Kompas selalu kalah dari koran lokal. Sebagai contoh, di Bandung: Pikiran Rakyat; di Medan: Pos Metro; di Makassar: Fajar, dan seterusnya.

Berbeda dengan sistem pertelevisian, mayoritas penonton Indonesia hanya menyaksikan acara televisi yang dipancarkan oleh stasiun-stasiun televisi nasional. Meski telah dikenal stasiun-stasiun televisi lokal sejak era reformasi, mereka bukanlah pesaing yang berat dan serius bagi stasiun-stasiun televisi raksasa yang berada di Jakarta tersebut. Banyak dari stasiun-stasiun televisi swasta lokal akhirnya harus berhenti bersiaran. Sebagai akibat dari persaingan yang tidak sehat antara stasiun televisi swasta nasional dengan stasiun televisi lokal yang hanya memiliki jangkauan penonton terbatas.

Untuk mengatasi persoalan sentralisasi dunia pertelevisian tersebut, sistem penyiaran televisi berjaringan menjadi jawaban yang hingga kini dianggap paling ideal. Dalam sistem berjaringan, stasiun-stasiun televisi lokal tak perlu menjadi stasiun-staisun independen yang membiayai diri sendiri. Sebagaimana di banyak negara maju atau memiliki keluasan wilayah yang menerapkan sistem ini seperti Amerika Serikat, Kanada, Korea Selatan, Brazil, dan Jepang, stasiun-stasiun televisi lokal berposisi sebagai stasiun televisi afiliasi jaringan nasional. Fakta bahwa mayoritas negara menjalankannya menunjukkan bahwa model ini bukan saja bersahabat dengan kepentingan publik, tetapi juga tidak berseberangan dengan kepentingan para pemodal.

Dengan sistem desantralistis ini, stasiun-stasiun televisi raksasa di Jakarta harus mendirikan stasiun televisi di setiap daerah atau mencari mitra stasiun televisi lokal yang bersedia menjadi bagian dari jaringan. Di samping itu, mereka juga wajib menyajikan muatan-muatan lokal dalam isi siarannya. Segenap keuntungan yang diperoleh pada nantinya dari pemasukan iklan pun harus dibagi dengan daerah. Selain, televisi-televisi daerah tersebut juga bisa memperoleh pemasukan dari iklan lokal.

Sayangnya, hingga kini sistem ini belum juga diterapkan di Indonesia. Meski niat untuk menjalankan sistem ini sudah ada, salah satunya adalah dengan UU Penyiaran 2002. Menurut UU ini, sistem penyiaran televisi berjaringan seharusnya sudah dijalankan secara penuh di Indonesia sejak 2007 lalu. Namun, penerapan sistem berjaringan mendapat berbagai kendala dan pada akhirnya harus ditunda untuk dijalankan. Salah satunya karena pemerintah dan KPI tidak memiliki rancangan sistematis tentang sebuah siaran berjaringan yang hendak diterapkan di Indonesia. Maka, yang terjadi adalah rangkaian penundaan tanpa ada langkah nyata untuk mewujudkannya.

Buku ini berusaha menunjukkan bagaimana sistem pertelevisian yang sentralistis itu lahir, berkembang, dan merugikan kepentingan masyarakat luas. Bahkan setelah hadirnya UU Penyiaran lahir pada 2002 pun, untuk melakukan perubahan mendasar pada karakter sistem pertelevisian yang tidak adil itu masih jauh dari harapan. Tidak cukup sampai disitu, buku ini juga telah berhasil menunjukkan kepada kita, mengapa dulu terdapat gerakan separatisme di daerah-daerah. Seperti halnya dalam dunia pertelevisian, itu tak lain karena Ibukota Jakarta terlalu jahat. Jakarta di atas segala-galanya, di atas Indonesia.

Diajajah Sekali Lagi


Judul Buku          : Fungsikan Surveyor, Jangan Biarkan Asing Kuras Tambang Kita.
Penulis                 : Abdul Jabar Yoesoef
Penerbit              : PT Alex Media Komputindo
Cetakan               : Pertama, Maret 2011
Tebal                     : xviii + 270 halaman
ISBN                      : 978-979-27-9624-7

Puluhan tahun silam, Bung Karno telah memperingatkan bangsa Indonesia agar jangan hanya menjadi kuli di negeri sendiri dan kuli di antara bangsa-bangsa.

Meski Indonesia mempunyai kekayaan alam yang berlimpah. Hingga kini, negeri gemah ripah loh jinawi ini tak kunjung menuai kesejahteraan. Berlimpahnya kekayaan alam tidak mampu dimanfaatkan dengan baik demi kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, seluruh kekayaan alam secara suka rela diberikan kepada para investor asing untuk dieksploitasi demi keuntungan pribadi.

Sejarah panjang eksploitasi kekayaan alam, terutama pertambangan, sudah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Saat itu, tentu semua hasil keuntungan akan diangkut ke negeri kincir angin tersebut. Keadaan saat ini sebenarnya tidak jauh beda dengan masa penjajahan Belanda.

Pasalnya, para penanam modal asing dengan leluasa mengeruk seluruh kekayaan negeri ini demi keuntungan pribadinya. Hampir 90 % dari penanaman modal di bidang pertambangan didominasi oleh para investor asing. Meskipun sebenarnya, penanaman modal asing ini merupakan salah satu langkah yang diambil oleh pemerintah untuk memajukan bangsa dalam jangka panjang. Mengingat, yang dimiliki Indonesia hanyalah kekayaan alam.

Sedangkan, teknologi, pengalaman, modal serta sumberdaya manusia yang kurang cakap menghendaki Indonesia agar tidak mengeksplorasi kekayaannya demi keuntungannya sendiri. Alhasil, ia hanya sanggup menjadi kuli di negeri sendiri. Menyaksikan kekayaannya diangkut ke luar negeri oleh orang lain.

Mulai Transfer Pricing Hingga Kerusakan Lingkungan
 Para penambang asing yang mendominasi pengeksploitasian kekayaan alam Indonesia lebih cenderung untuk melakukan penjualan ekspor ketimbang memenuhi kebutuhan dalam negeri. Mengingat, jumlah permintaan dunia akan energi semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dunia. Si Emas Hitam batu bara misalnya, kini menjadi primadona serta incaran para penambang akibat konsumsi listrik dunia yang meningkat.  

Tentu, sasaran utama para penambang tersebut adalah untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Sayang, pajak yang harus dibayarkannya untuk Indonesia seringkali dimanipulasi. Salah satunya melalui praktik transfer pricing.

Transfer pricing merupakan upaya penambang untuk mengecilkan harga jual ekspor mineral agar pembayaran pajak maupun royalti atas penjualan dan ekspor produk pertambangan semakin mengecil (hal xiv). Padahal, pendapatan terbesar negara diperoleh dari hasil pemungutan pajak dan royalti pertambangan. Alhasil, negara sangat dirugikan oleh adanya praktik transfer pricing ini.

Sementara itu, sejak reformasi perpajakan pada tahun 1983, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1994 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, sistem pemungutan pajak di Indonesia berubah dari sistem official assesment menjadi self assesment. Secara resmi, sistem ini sudah berlaku sejak tahun 1993.

 Sistem official assesment merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Fiskus (Direktorat Jenderal Pajak) untuk memutuskan besarannya pajak yang terutang terhadap wajib pajak. Sedangkan, sistem self assesment merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang penuh kepada wajib pajak untuk menentukan besarannya pajak terutang (hal 53).

Penetuan secara sepihak oleh para penambang asing sebagai wajib pajak inilah yang menjadi celah lebar bagi pemanipulasian pajak. Lebih parah lagi, hingga kini Indonesia belum mempunyai standar harga mineral tambang yang umum digunakan seperti London Metal Exchange (LME). Sehingga, tidak adanya standar harga tersebut menyulitkan pemerintah untuk memastikan apakah harga yang diberlakukan perusahaan tambang sebagawai wajib pajak di bawah standar atau tidak.

Selain kerugian dalam hal pemungutan pajak, kerusakan lingkungan juga menjadi kerugian lain yang diderita oleh Indonesia. Kegiatan di sektor pertambangan memiliki potensi untuk merusak lingkungan, baik tanar, air, maupun udara. Sementara, umumnya pertambangan yang dilakukan di Indonesia menganut sistem pertambangan terbuka (open fit). Dimana sistem ini sangat dihindari karena resiko dan dampaknya yang sangat besar terhadap lingkungan. Tidak cukup sampai disitu, para penambang seringkali mengabaikan kewajiban reklamasi dan reboisasi tambang pasca-eksploitasi tambang.

Data Luas Penetapan Kawasan Hutan yang dikeluarkan Departemen Kehutanan menyebutkan memang terjadi penyusutan luas hutan. Disebutkan bahwa 1950 luas hutan 162 juta hektar. Di tahun 1992 luas tersebut menjadi 118,7 juta hektar dan tahun 2003 turun lagi menjadi 110,0 juta hektar. Hingga tahun 2006 luas hutan Indonesia tinggal 93,92 juta hektar. Artinya, hanya tinggal separuh lebih sedikit dibanding luas hutan setengah abad yang lalu.

Untuk mengatasi semua penyelewengan yang dilkukan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut, Yoesoef mengusulkan untuk menoptimalisasikan Independent Surveyor sebagai penengah antara perusahaan penambang dan pemerintah sekaligus sebagai polisi yang mengawasi kekayaan mineral Indonesia. Dalam buku ini, ranah kerja Independent Surveyor dijelaskan oleh Yoesoef dengan sangat praktis-operasional. Seperti apa saja yang harus dikerjakan oleh Independent Surveyor mulai awal hingga akhir.

Tiap lembar buku ini membeberkan data-data yang mencengangkan sekaligus menyedihkan. Sayangnya, penyajian yang kurang sistematis mengakibatkan pembahasan seolah-olah hanya berputar-putar pada hal yang sama.

Terlepas dari kekurangan dan kelebihannya, buku ini berhasil menegaskan kembali bahwa kita telah dijajah sekali lagi. Bahkan, untuk menjadi kuli di negeri sendiri saja masih sangat susah nan mewah.


Agent of Change 2.0*

Manusia terlahir sebagai makhluk sosial. Oleh sebab itulah, komunikasi menjadi kebutuhan mutlak bagi mereka. Komunikasi mengukuhkan jati diri individu sekaligus sosial manusia. Peradaban mereka telah dibentuk oleh proses komunikasi panjang yang melibatkan perihal internal dan eksternal manusia.

Kini, seiring dengan perkembangan teknologi informasi, komunikasi antar persona tidak hanya terjadi sebatas tatap muka. Sekat- sekat pemisah telah dirobohkan. Salah satunya dengan bantuan media sosial. Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai, "sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0  dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content.”[i] Blog dan jejaring sosial (social network) ialah beberapa diantaranya.

Di Indonesia, jumlah pengguna media sosial hampir sejajar dengan pengguna internet. Merujuk data Internet World Stats pada desember 2010, Indonesia menempati ranking ke-4 pengguna internet terbanyak di Asia, yakni sebanyak 39.600.000 orang. Dan pada juni 2011, sebanyak 38.860.460 orang diantaranya merupakan pengguna media sosial bernama Facebook.[ii] Selain itu, pengguna Twitter di Indonesia menempati posisi keempat terbesar di dunia dengan jumlah 4,8 juta orang. Sedangkan untuk Blog, tercatat hingga Oktober 2010 sudah ada 3,2 juta blogger yang mem-posting lebih dari 4,1 juta blog.[iii] Berkaca dari data tersebut, bisa diasumsikan, bahwasanya –hampir—seluruh pengguna internet di Indonesia sekaligus merupakan pengguna media sosial.

Sementara, merujuk survei Russel Conrad, Regional Director South East Asia Effective Measure per Mei 2011, pengguna Internet yang dominan di Indonesia adalah dari kalangan usia 21 sampai 24. Disusul usia 35 sampai 40, kemudian usia 31 sampai 34 dan 15 sampai 20 tahun di posisi berikutnya.[iv] Dominasi pemuda dalam penggunaan internet bukannya tanpa alasan. Bila ditilik dari sejarahnya, kemunculan internet di Indonesia dimulai pada tahun 1990an. Oleh karena itu lah para pemuda saat ini biasa disebut generasi internet, yakni generasi yang dilahirkan pada dekade 80an dan sesudahnya.

Ibarat dua sisi uang logam, media sosial tentu memiliki sisi positif dan negatif. Salah satu diatara sisi negatifnya ialah efek candu, persis seperti narkotika. Sebagaimana media massa seperti televisi, media sosial juga mengakibatkan penggunanya kecanduan. Bila televisi hanya bisa dikonsumsi kenikmatan candunya di rumah, media sosial bahkan bisa dinikmati di mana pun dan kapan pun. Maklum, kini dengan berbekal ratusan ribu saja, telepon genggam yang menawarkan fasilitas internet sudah dapat diakantongi.

Namun, sisi positif yang ditawarkan oleh sosial media juga tak kalah menggiurkan. Salah satu diantaranya ialah gerakan sosial dan politik. Media sosial dengan mudah dapat memantik terjadinya gerakan-gerakan sosial dan politik di masyarakat. Gerakan Cicak versus Buaya, Sejuta Facebooker dukung Bibit-Chandra, dan Koin untuk Prita menjadi contohnya.

Boleh dikata, media sosial punya andil yang cukup besar dalam gerakan-gerakan tersebut. Namun, media tak ubahnya seperti benda mati bila tidak ada yang menjalankannya. Itu lah sebabnya, media sosial hanya bertindak sebagai pemantik saja. Sedang, aktor-aktornya tetap lah orang-orang yang menggunakannya.


Pemuda Sebagai Agent of Change 2.0

Konon, generasi muda disebut-sebut sebagai agent of change (agen perubahan). Generasi muda telah menorehkan tinta emasnya dalam lembar-lembar sejarah Indonesia. Mulai dari Kemerdekaan Indonesia hingga Reformasi 1998. Mereka dengan gigih mermperjuangkan suara-suara yang tak tersuarakan (voicing the voiceless).


Kombinasi yang apik antara media sosial dengan agen perubahan bisa menjadi modal berharga bagi Indonesia. Berbekal media sosial, setiap pemuda dapat terkoneksi dengan pemuda lainnya di seluruh penjuru Nusantara, dari Sabang sampai Merauke. Meskipun media sosial tak ubahnya candu bagi generasi muda sekarang, tetapi mereka masih berpeluang menggunakan media sosial sebagai alat pergerakan dan  mengawal isu-isu sosial serta politik. Dengan dan dalam media sosial, gagasan-gagasan dipertukarkan, perubahan demi perubahan dapat dilakukan. Asal prasyaratnya terpenuhi.

Prasyarat pertama ialah kultur baca tulis pemuda Indonesia yang mumpuni. Dari tahun ke tahun, kultur baca tulis masyarakat Indonesia kian memprihatinkan. Menurunnya kultur baca tulis masrakat Indonesia, terlebih pemuda sebagai generasi internet atau generation next harus diletakkan dalam konteks zamannya. Kultur baca tulis yang kian memudar di kalangan pemuda dapat dipahami sebagai akibat kontinuitas kemunculan media dengan tingkat graduasi kelebihan serta kemenarikan yang semakin tinggi. Mulai dari kemunculan koran hingga media baru (new media). Data penelitian Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006 menyebutkan, bahwa masyarakat kita belum memprioritaskan membaca untuk mendapatkan informasi. Orang Indonesia lebih memilih menonton televisi (85,9 %) dan/atau mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca koran (23,5%). Menurut Onno W. Purbo, salah satu orang yang berperan besar membawa internet ke Indonesia, teknologi internet mutlak mensyaratkan kultur baca tulis masyarakat.[v] Apalagi media sosial dengan teks-teks sebagai isi pesan utamanya. Oleh sebab itu lah, kultur baca tulis generasi muda Indonesia harus segera dibenahi.

Kedua, kecakapan pemuda dalam menggunakan media sosial. Pemuda yang cakap dalam bermedia menjadi sebuah keharusan. Kecakapan dalam literasi media, menurut Wisnu Martha Adiputra, terdiri dari tiga tingkatan, yakni tingkat awal, menengah, dan lanjut. Tingkat awal di dalam literasi media berupa pengenalan media, terutama tentang efek positif dan negatif media. Literasi media tingkat menengah bertujuan menumbuhkan kecakapan dalam memahami pesan. Sementara tingkat lanjut dalam literasi media melahirkan output kecakapan memahami media yang lengkap sampai produksi pesan, struktur pengetahuan terhadap media yang relatif lengkap, dan pemahaman kritis pada level aksi.[vi]

Pada tingkat awal, pemuda harus mengetahui efek negatif dan positif media sosial. Dengan begitu, efek candu yang menjadi salah satu dampak negatifnya bisa dihindari. Dalam tingkat menengah, pemuda diharapkan dapat memahami betul realitas serta isu dengan akal jernih. Pasalnya, seperti yang dikatakan Profesor Merlyna Lim dalam kuliah terbuka yang diadakan Youth Studies Centre (YouSure) (21/ 9), aksi-aksi solidaritas seperti gerakan Cicak versus Buaya, Sejuta Facebooker dukung Bibit-Chandra, dan Koin untuk Prita sebetulnya hanyalah reaksi spontan yang muncul karena dorongan kolektif dari lingkungan. Spontanitas pemuda itu lahir hanya jika ada isu-isu yang mengemuka dan biasanya bersifat temporer. Partisipasi dari pemuda pun biasanya hanya bersifat sinkretis dan ala kadarnya.[vii]

Bila kedua tingkatan tersebut sudah terpenuhi, dalam tingkat lanjut, pemuda baru bisa menjadi motor penggerak perubahan dengan alat media sosial. Dalam tingkat ini, pemuda sudah fasih memahami realitas di sekitarnya. Pemahaman tersebut kemudian diproduksi menjadi gagasan dan dipertukarkan melalui media sosial serta ditransformasikan menjadi sebuah pergerakan. Dengan begitu, pemuda sebagai agent of change tidak lagi harus terus-terusan berdemonstrasi dan berteriak-teriak di jalan dengan kucuran keringat dan kekuatan otot. Kini, sudah saatnya pemuda menjadi agent of change 2.0 dengan menggunakan akal jernih dan memanfaatkan media sosial untuk mengukir perubahan demi perubahan bagi kemajuan bangsa Indonesia.