Ibukota Jakarta yang Jahat

Senin, 07 November 2011

Judul Buku          : Televisi Jakarta Di Atas Indonesia: Kisah Kegagalan Sistem Televisi Berjaringan Di Indonesia
Penulis                 : Ade Armando
Penerbit              : Bentang
Cetakan               : Pertama, April 2011
Tebal                     : xvi + 294 halaman

Sistem televisi komersial yang sentralistis pada dasarnya merugikan masyarakat, baik secara politik, ekonomi maupun sosial-budaya. Memang pahit, tapi itulah kenyataannya saat ini, (televisi) Jakarta di atas segalanya, di atas Indonesia.

Barangkali masih banyak yang mengira bahwa dengan menyaksikan televisi secara gratis, kita telah diuntungkan. Padahal, dengan sistem pertelevisian sentralistis yang hingga kini masih diterapkan, masyarakat Indonesia secara umum bukannya mendapat keuntungan, malah dirugikan. Masyarakat sebagai pemilik frekuensi siaran yang terbatas jumlahnya serta memiliki nilai ekonomi dan politik yang tinggi seharusnya memperoleh keuntungan baik secara sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

Dalam sistem pertelevisian di Indonesia saat ini, seluruh isi siaran sepenuhnya disiapkan, dibuat, dan dipancarkan dari Jakarta menuju rumah-rumah penduduk di seluruh Indonesia dengan hanya diperantarai stasiun relai di setiap daerah. Sebagai akibatnya, dinamika politik, sosial, serta budaya sebuah daerah di luar Jakarta kurang mendapat tempat karena dianggap hanya relevan bagi masyarakat setempat. Dengan demikian, hanya akan mendapat sedikit penonton dan dianggap kurang menguntungkan oleh stasiun-stasiun televisi raksasa di Jakarta. Di sisi lain, segenap keuntungan ekonomi yang bernilai triliunan rupiah hanya mengalir ke Jakarta. Alhasil, masyarakat di luar Jakarta tidak hanya akan menjadi penonton, tapi mereka juga tidak akan menikmati aliran uang iklan, peluang kesempatan kerja, sarana promosi, ruang diskusi politik, ruang ekspresi seni dan kebudayaan, atau juga ruang perekat sosial.

Sebenarnya cukup mudah untuk mengidentifikasi kesentralistisan sistem pertelevisian. Hal ini dapat dibuktikan dengan perbedaan mencolok antara gambaran media cetak, media radio, dan media televisi. Dalam sistem peradioan, di setiap kota terdapat stasiun-stasiun radio yang melayani kebutuhan konsumen kota tersebut secara spesifik. Dan yang tercatat sebagai stasiun teratas di setiap wilayah pun berbeda. Sebagai contoh, menurut data Media Scene (2008), tiga radio dengan jumlah pendengar terbanyak di Jakarta adalah: Dangdut TPI, Bens, dan Gen-FM. Di Bandung, yang memperoleh rating tertinggi adalah Dahlia, Rama, dan 99Ers. Di Semarang, Kis FM, Gadjah Mada, dan Pop FM.

Pola serupa juga terlihat dalam media cetak. Di masing-masing kota di Indonesia, koran yang mendominasi pun juga berbeda. Mungkin banyak yang menyangka bahwa harian Kompas yang terbit di Jakarta adalah harian terbesar di Indonesia. Namun, data Media Scene (2008) menunjukkan bahwa koran dengan jumlah pembaca terbanyak adalah Jawa Pos (1,4 juta pembaca), di atas Kompas (1,3 pembaca). Kompas menjadi nomor satu hanya di Jakarta. Di wilayah lain, pembaca Kompas selalu kalah dari koran lokal. Sebagai contoh, di Bandung: Pikiran Rakyat; di Medan: Pos Metro; di Makassar: Fajar, dan seterusnya.

Berbeda dengan sistem pertelevisian, mayoritas penonton Indonesia hanya menyaksikan acara televisi yang dipancarkan oleh stasiun-stasiun televisi nasional. Meski telah dikenal stasiun-stasiun televisi lokal sejak era reformasi, mereka bukanlah pesaing yang berat dan serius bagi stasiun-stasiun televisi raksasa yang berada di Jakarta tersebut. Banyak dari stasiun-stasiun televisi swasta lokal akhirnya harus berhenti bersiaran. Sebagai akibat dari persaingan yang tidak sehat antara stasiun televisi swasta nasional dengan stasiun televisi lokal yang hanya memiliki jangkauan penonton terbatas.

Untuk mengatasi persoalan sentralisasi dunia pertelevisian tersebut, sistem penyiaran televisi berjaringan menjadi jawaban yang hingga kini dianggap paling ideal. Dalam sistem berjaringan, stasiun-stasiun televisi lokal tak perlu menjadi stasiun-staisun independen yang membiayai diri sendiri. Sebagaimana di banyak negara maju atau memiliki keluasan wilayah yang menerapkan sistem ini seperti Amerika Serikat, Kanada, Korea Selatan, Brazil, dan Jepang, stasiun-stasiun televisi lokal berposisi sebagai stasiun televisi afiliasi jaringan nasional. Fakta bahwa mayoritas negara menjalankannya menunjukkan bahwa model ini bukan saja bersahabat dengan kepentingan publik, tetapi juga tidak berseberangan dengan kepentingan para pemodal.

Dengan sistem desantralistis ini, stasiun-stasiun televisi raksasa di Jakarta harus mendirikan stasiun televisi di setiap daerah atau mencari mitra stasiun televisi lokal yang bersedia menjadi bagian dari jaringan. Di samping itu, mereka juga wajib menyajikan muatan-muatan lokal dalam isi siarannya. Segenap keuntungan yang diperoleh pada nantinya dari pemasukan iklan pun harus dibagi dengan daerah. Selain, televisi-televisi daerah tersebut juga bisa memperoleh pemasukan dari iklan lokal.

Sayangnya, hingga kini sistem ini belum juga diterapkan di Indonesia. Meski niat untuk menjalankan sistem ini sudah ada, salah satunya adalah dengan UU Penyiaran 2002. Menurut UU ini, sistem penyiaran televisi berjaringan seharusnya sudah dijalankan secara penuh di Indonesia sejak 2007 lalu. Namun, penerapan sistem berjaringan mendapat berbagai kendala dan pada akhirnya harus ditunda untuk dijalankan. Salah satunya karena pemerintah dan KPI tidak memiliki rancangan sistematis tentang sebuah siaran berjaringan yang hendak diterapkan di Indonesia. Maka, yang terjadi adalah rangkaian penundaan tanpa ada langkah nyata untuk mewujudkannya.

Buku ini berusaha menunjukkan bagaimana sistem pertelevisian yang sentralistis itu lahir, berkembang, dan merugikan kepentingan masyarakat luas. Bahkan setelah hadirnya UU Penyiaran lahir pada 2002 pun, untuk melakukan perubahan mendasar pada karakter sistem pertelevisian yang tidak adil itu masih jauh dari harapan. Tidak cukup sampai disitu, buku ini juga telah berhasil menunjukkan kepada kita, mengapa dulu terdapat gerakan separatisme di daerah-daerah. Seperti halnya dalam dunia pertelevisian, itu tak lain karena Ibukota Jakarta terlalu jahat. Jakarta di atas segala-galanya, di atas Indonesia.

Diajajah Sekali Lagi


Judul Buku          : Fungsikan Surveyor, Jangan Biarkan Asing Kuras Tambang Kita.
Penulis                 : Abdul Jabar Yoesoef
Penerbit              : PT Alex Media Komputindo
Cetakan               : Pertama, Maret 2011
Tebal                     : xviii + 270 halaman
ISBN                      : 978-979-27-9624-7

Puluhan tahun silam, Bung Karno telah memperingatkan bangsa Indonesia agar jangan hanya menjadi kuli di negeri sendiri dan kuli di antara bangsa-bangsa.

Meski Indonesia mempunyai kekayaan alam yang berlimpah. Hingga kini, negeri gemah ripah loh jinawi ini tak kunjung menuai kesejahteraan. Berlimpahnya kekayaan alam tidak mampu dimanfaatkan dengan baik demi kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, seluruh kekayaan alam secara suka rela diberikan kepada para investor asing untuk dieksploitasi demi keuntungan pribadi.

Sejarah panjang eksploitasi kekayaan alam, terutama pertambangan, sudah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Saat itu, tentu semua hasil keuntungan akan diangkut ke negeri kincir angin tersebut. Keadaan saat ini sebenarnya tidak jauh beda dengan masa penjajahan Belanda.

Pasalnya, para penanam modal asing dengan leluasa mengeruk seluruh kekayaan negeri ini demi keuntungan pribadinya. Hampir 90 % dari penanaman modal di bidang pertambangan didominasi oleh para investor asing. Meskipun sebenarnya, penanaman modal asing ini merupakan salah satu langkah yang diambil oleh pemerintah untuk memajukan bangsa dalam jangka panjang. Mengingat, yang dimiliki Indonesia hanyalah kekayaan alam.

Sedangkan, teknologi, pengalaman, modal serta sumberdaya manusia yang kurang cakap menghendaki Indonesia agar tidak mengeksplorasi kekayaannya demi keuntungannya sendiri. Alhasil, ia hanya sanggup menjadi kuli di negeri sendiri. Menyaksikan kekayaannya diangkut ke luar negeri oleh orang lain.

Mulai Transfer Pricing Hingga Kerusakan Lingkungan
 Para penambang asing yang mendominasi pengeksploitasian kekayaan alam Indonesia lebih cenderung untuk melakukan penjualan ekspor ketimbang memenuhi kebutuhan dalam negeri. Mengingat, jumlah permintaan dunia akan energi semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dunia. Si Emas Hitam batu bara misalnya, kini menjadi primadona serta incaran para penambang akibat konsumsi listrik dunia yang meningkat.  

Tentu, sasaran utama para penambang tersebut adalah untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Sayang, pajak yang harus dibayarkannya untuk Indonesia seringkali dimanipulasi. Salah satunya melalui praktik transfer pricing.

Transfer pricing merupakan upaya penambang untuk mengecilkan harga jual ekspor mineral agar pembayaran pajak maupun royalti atas penjualan dan ekspor produk pertambangan semakin mengecil (hal xiv). Padahal, pendapatan terbesar negara diperoleh dari hasil pemungutan pajak dan royalti pertambangan. Alhasil, negara sangat dirugikan oleh adanya praktik transfer pricing ini.

Sementara itu, sejak reformasi perpajakan pada tahun 1983, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1994 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, sistem pemungutan pajak di Indonesia berubah dari sistem official assesment menjadi self assesment. Secara resmi, sistem ini sudah berlaku sejak tahun 1993.

 Sistem official assesment merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Fiskus (Direktorat Jenderal Pajak) untuk memutuskan besarannya pajak yang terutang terhadap wajib pajak. Sedangkan, sistem self assesment merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang penuh kepada wajib pajak untuk menentukan besarannya pajak terutang (hal 53).

Penetuan secara sepihak oleh para penambang asing sebagai wajib pajak inilah yang menjadi celah lebar bagi pemanipulasian pajak. Lebih parah lagi, hingga kini Indonesia belum mempunyai standar harga mineral tambang yang umum digunakan seperti London Metal Exchange (LME). Sehingga, tidak adanya standar harga tersebut menyulitkan pemerintah untuk memastikan apakah harga yang diberlakukan perusahaan tambang sebagawai wajib pajak di bawah standar atau tidak.

Selain kerugian dalam hal pemungutan pajak, kerusakan lingkungan juga menjadi kerugian lain yang diderita oleh Indonesia. Kegiatan di sektor pertambangan memiliki potensi untuk merusak lingkungan, baik tanar, air, maupun udara. Sementara, umumnya pertambangan yang dilakukan di Indonesia menganut sistem pertambangan terbuka (open fit). Dimana sistem ini sangat dihindari karena resiko dan dampaknya yang sangat besar terhadap lingkungan. Tidak cukup sampai disitu, para penambang seringkali mengabaikan kewajiban reklamasi dan reboisasi tambang pasca-eksploitasi tambang.

Data Luas Penetapan Kawasan Hutan yang dikeluarkan Departemen Kehutanan menyebutkan memang terjadi penyusutan luas hutan. Disebutkan bahwa 1950 luas hutan 162 juta hektar. Di tahun 1992 luas tersebut menjadi 118,7 juta hektar dan tahun 2003 turun lagi menjadi 110,0 juta hektar. Hingga tahun 2006 luas hutan Indonesia tinggal 93,92 juta hektar. Artinya, hanya tinggal separuh lebih sedikit dibanding luas hutan setengah abad yang lalu.

Untuk mengatasi semua penyelewengan yang dilkukan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut, Yoesoef mengusulkan untuk menoptimalisasikan Independent Surveyor sebagai penengah antara perusahaan penambang dan pemerintah sekaligus sebagai polisi yang mengawasi kekayaan mineral Indonesia. Dalam buku ini, ranah kerja Independent Surveyor dijelaskan oleh Yoesoef dengan sangat praktis-operasional. Seperti apa saja yang harus dikerjakan oleh Independent Surveyor mulai awal hingga akhir.

Tiap lembar buku ini membeberkan data-data yang mencengangkan sekaligus menyedihkan. Sayangnya, penyajian yang kurang sistematis mengakibatkan pembahasan seolah-olah hanya berputar-putar pada hal yang sama.

Terlepas dari kekurangan dan kelebihannya, buku ini berhasil menegaskan kembali bahwa kita telah dijajah sekali lagi. Bahkan, untuk menjadi kuli di negeri sendiri saja masih sangat susah nan mewah.


Agent of Change 2.0*

Manusia terlahir sebagai makhluk sosial. Oleh sebab itulah, komunikasi menjadi kebutuhan mutlak bagi mereka. Komunikasi mengukuhkan jati diri individu sekaligus sosial manusia. Peradaban mereka telah dibentuk oleh proses komunikasi panjang yang melibatkan perihal internal dan eksternal manusia.

Kini, seiring dengan perkembangan teknologi informasi, komunikasi antar persona tidak hanya terjadi sebatas tatap muka. Sekat- sekat pemisah telah dirobohkan. Salah satunya dengan bantuan media sosial. Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai, "sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0  dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content.”[i] Blog dan jejaring sosial (social network) ialah beberapa diantaranya.

Di Indonesia, jumlah pengguna media sosial hampir sejajar dengan pengguna internet. Merujuk data Internet World Stats pada desember 2010, Indonesia menempati ranking ke-4 pengguna internet terbanyak di Asia, yakni sebanyak 39.600.000 orang. Dan pada juni 2011, sebanyak 38.860.460 orang diantaranya merupakan pengguna media sosial bernama Facebook.[ii] Selain itu, pengguna Twitter di Indonesia menempati posisi keempat terbesar di dunia dengan jumlah 4,8 juta orang. Sedangkan untuk Blog, tercatat hingga Oktober 2010 sudah ada 3,2 juta blogger yang mem-posting lebih dari 4,1 juta blog.[iii] Berkaca dari data tersebut, bisa diasumsikan, bahwasanya –hampir—seluruh pengguna internet di Indonesia sekaligus merupakan pengguna media sosial.

Sementara, merujuk survei Russel Conrad, Regional Director South East Asia Effective Measure per Mei 2011, pengguna Internet yang dominan di Indonesia adalah dari kalangan usia 21 sampai 24. Disusul usia 35 sampai 40, kemudian usia 31 sampai 34 dan 15 sampai 20 tahun di posisi berikutnya.[iv] Dominasi pemuda dalam penggunaan internet bukannya tanpa alasan. Bila ditilik dari sejarahnya, kemunculan internet di Indonesia dimulai pada tahun 1990an. Oleh karena itu lah para pemuda saat ini biasa disebut generasi internet, yakni generasi yang dilahirkan pada dekade 80an dan sesudahnya.

Ibarat dua sisi uang logam, media sosial tentu memiliki sisi positif dan negatif. Salah satu diatara sisi negatifnya ialah efek candu, persis seperti narkotika. Sebagaimana media massa seperti televisi, media sosial juga mengakibatkan penggunanya kecanduan. Bila televisi hanya bisa dikonsumsi kenikmatan candunya di rumah, media sosial bahkan bisa dinikmati di mana pun dan kapan pun. Maklum, kini dengan berbekal ratusan ribu saja, telepon genggam yang menawarkan fasilitas internet sudah dapat diakantongi.

Namun, sisi positif yang ditawarkan oleh sosial media juga tak kalah menggiurkan. Salah satu diantaranya ialah gerakan sosial dan politik. Media sosial dengan mudah dapat memantik terjadinya gerakan-gerakan sosial dan politik di masyarakat. Gerakan Cicak versus Buaya, Sejuta Facebooker dukung Bibit-Chandra, dan Koin untuk Prita menjadi contohnya.

Boleh dikata, media sosial punya andil yang cukup besar dalam gerakan-gerakan tersebut. Namun, media tak ubahnya seperti benda mati bila tidak ada yang menjalankannya. Itu lah sebabnya, media sosial hanya bertindak sebagai pemantik saja. Sedang, aktor-aktornya tetap lah orang-orang yang menggunakannya.


Pemuda Sebagai Agent of Change 2.0

Konon, generasi muda disebut-sebut sebagai agent of change (agen perubahan). Generasi muda telah menorehkan tinta emasnya dalam lembar-lembar sejarah Indonesia. Mulai dari Kemerdekaan Indonesia hingga Reformasi 1998. Mereka dengan gigih mermperjuangkan suara-suara yang tak tersuarakan (voicing the voiceless).


Kombinasi yang apik antara media sosial dengan agen perubahan bisa menjadi modal berharga bagi Indonesia. Berbekal media sosial, setiap pemuda dapat terkoneksi dengan pemuda lainnya di seluruh penjuru Nusantara, dari Sabang sampai Merauke. Meskipun media sosial tak ubahnya candu bagi generasi muda sekarang, tetapi mereka masih berpeluang menggunakan media sosial sebagai alat pergerakan dan  mengawal isu-isu sosial serta politik. Dengan dan dalam media sosial, gagasan-gagasan dipertukarkan, perubahan demi perubahan dapat dilakukan. Asal prasyaratnya terpenuhi.

Prasyarat pertama ialah kultur baca tulis pemuda Indonesia yang mumpuni. Dari tahun ke tahun, kultur baca tulis masyarakat Indonesia kian memprihatinkan. Menurunnya kultur baca tulis masrakat Indonesia, terlebih pemuda sebagai generasi internet atau generation next harus diletakkan dalam konteks zamannya. Kultur baca tulis yang kian memudar di kalangan pemuda dapat dipahami sebagai akibat kontinuitas kemunculan media dengan tingkat graduasi kelebihan serta kemenarikan yang semakin tinggi. Mulai dari kemunculan koran hingga media baru (new media). Data penelitian Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006 menyebutkan, bahwa masyarakat kita belum memprioritaskan membaca untuk mendapatkan informasi. Orang Indonesia lebih memilih menonton televisi (85,9 %) dan/atau mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca koran (23,5%). Menurut Onno W. Purbo, salah satu orang yang berperan besar membawa internet ke Indonesia, teknologi internet mutlak mensyaratkan kultur baca tulis masyarakat.[v] Apalagi media sosial dengan teks-teks sebagai isi pesan utamanya. Oleh sebab itu lah, kultur baca tulis generasi muda Indonesia harus segera dibenahi.

Kedua, kecakapan pemuda dalam menggunakan media sosial. Pemuda yang cakap dalam bermedia menjadi sebuah keharusan. Kecakapan dalam literasi media, menurut Wisnu Martha Adiputra, terdiri dari tiga tingkatan, yakni tingkat awal, menengah, dan lanjut. Tingkat awal di dalam literasi media berupa pengenalan media, terutama tentang efek positif dan negatif media. Literasi media tingkat menengah bertujuan menumbuhkan kecakapan dalam memahami pesan. Sementara tingkat lanjut dalam literasi media melahirkan output kecakapan memahami media yang lengkap sampai produksi pesan, struktur pengetahuan terhadap media yang relatif lengkap, dan pemahaman kritis pada level aksi.[vi]

Pada tingkat awal, pemuda harus mengetahui efek negatif dan positif media sosial. Dengan begitu, efek candu yang menjadi salah satu dampak negatifnya bisa dihindari. Dalam tingkat menengah, pemuda diharapkan dapat memahami betul realitas serta isu dengan akal jernih. Pasalnya, seperti yang dikatakan Profesor Merlyna Lim dalam kuliah terbuka yang diadakan Youth Studies Centre (YouSure) (21/ 9), aksi-aksi solidaritas seperti gerakan Cicak versus Buaya, Sejuta Facebooker dukung Bibit-Chandra, dan Koin untuk Prita sebetulnya hanyalah reaksi spontan yang muncul karena dorongan kolektif dari lingkungan. Spontanitas pemuda itu lahir hanya jika ada isu-isu yang mengemuka dan biasanya bersifat temporer. Partisipasi dari pemuda pun biasanya hanya bersifat sinkretis dan ala kadarnya.[vii]

Bila kedua tingkatan tersebut sudah terpenuhi, dalam tingkat lanjut, pemuda baru bisa menjadi motor penggerak perubahan dengan alat media sosial. Dalam tingkat ini, pemuda sudah fasih memahami realitas di sekitarnya. Pemahaman tersebut kemudian diproduksi menjadi gagasan dan dipertukarkan melalui media sosial serta ditransformasikan menjadi sebuah pergerakan. Dengan begitu, pemuda sebagai agent of change tidak lagi harus terus-terusan berdemonstrasi dan berteriak-teriak di jalan dengan kucuran keringat dan kekuatan otot. Kini, sudah saatnya pemuda menjadi agent of change 2.0 dengan menggunakan akal jernih dan memanfaatkan media sosial untuk mengukir perubahan demi perubahan bagi kemajuan bangsa Indonesia.










Godaan Tayangan Mistik

Senin, 09 Mei 2011

Judul Buku : Rahasia Simulasi Mistik Televisi
Penulis       : Iswandi Syahputra
Penerbit     : Pustaka Pelajar
Cetakan     : I, Februari 2011
Tebal         : xi + 368

Beberapa tahun terakhir, tayangan mistik mulai merebak di tanah air. Baik dalam industri perfilman maupun televisi. Menjamurnya tayangan-tayangan tersebut tidak bisa dilepaskan dari “tabiat” masyarakat Indonesia, terutama Jawa yang masih kental dengan mistisme. Gaya hidup atau keyakinan orang jawa sebelum atau bahkan sesudah Islam masuk ke Jawa memang cenderung kepada sistem keyakinan kebatinan daripada sistem keyakinan agama.

Sebelum siaran mistik marak ditayangkan oleh televisi pada era awal tahun 2000, terlebih dahulu terdapat sejumlah tayangan mistik yang dikemas dalam bentuk sinetron komedi non komedi. Sinetron Tuyul dan Mbak Yul (RCTI) serta Jin dan Jun (RCTI) dapat dimasukkan dalam sinetron mistik-komedi dan sinetron Si Manis Jembatan Ancol (SCTV) serta Misteri Gunung Merapi ( Indosiar) dapat dimasukkan dalam jenis sinetron mistik non-komedi yang merintis jalan bagi terbukanya sinetron mistik religius.

Menyusul kemudian muncul tayangan mistik dengan format reality show yang menampilkan sejumlah penampakan makhluk halus dan alam gaib. Bila pada program mistik sebelumnya mistik disajikan secara menghibur dalam bentuk drama fiktif, tayangan mistik pada format reality show menampilkan hiburan dalam bentuk sensasi yang mendebarkan. Seperti Uka-uka (TPI), Uji Nyali (Trans), Percaya Nggak Percaya (ANTV).

Bila kekelaman dunia penyiaran masa lalu diselimuti oleh sistem pemerintahan yang otoriter, maka pada saat ini, pasarlah yang bertindak otoriter. Alhasil, apabila ada suatu stasiun televisi sukses merintis sebuah program acara, hampir dapat dipastikan, tak lama kemudian bakal muncul program acara serupa di lain stasiun dengan kemasan yang berbeda.

Contoh “imam” tayangan mistik adalah sinetron Rahasia Ilahi yang ditayangkan pada bulan Ramadhan 2003 oleh stasiun TPI. Sinetron tersebut diklaim mengambil ide cerita dari kisah-kisah nyata yang dimuat dalam majalah Hidayah. Sejak pertengahan Maret hingga April 2005, tercatat sinetron Rahasia Ilahi ditonton oleh 40%-50% pemirsa. Sejak itulah muncul sinetron dengan tema serupa semisal, Azab Dunia Ketiga (ANTV), Titipan Ilahi (Indosiar), Azab Ilahi (Lativi/TV One), Tuhan Ada Dimana-mana (RCTI), Kuasa Ilahi (SCTV), Taubat (Trans TV), Takdir Ilahi (TPI), Titik Nadir (Trans 7).

Rahasia Simulasi Mistik

Rahasia simulasi mistik televisi terletak pada empat tahap simulasi di dalamnya. Tahap pertama, televisi mencerminkan realitas. Dengan demikian, televisi menciptakan bayangan atau cerminan realitas. Mistik disimulasi melalui peristiwa gaib dan irasional, seakan-akan memang demikianlah realitasnya. Kedua, televisi mengaburkan realitas. Realitas sesungguhnya berusaha disembunyikan melalui teknik-teknik yang diciptakan oleh industri televisi. Simulasi mistik menyembunyikan atau menutupi realitas. Walau seakaan-akan mirip dan merupakan cermin dari realitas namun pada tahap ini penggambaran nuansa mistik justru menutupi realitas sebenarnya. Hal gaib yang dipercaya dalam ajaran agama digambarkan berlebihan melampaui realitasnya.

Ketiga, televisi mengubur realitas. Dimana realitas sesungguhnya tidak lagi muncul dalam pilihan-pilihan representasi, disembunyikan atau ditutup-tutupi akan tetapi benar-benar dihapus. Misalnya, pada tayangan reality show, cerita yang dibangun seolah-olah menyerupai realitas padahal justru menghapus realitas. Simulasi mistik secara hakiki memberikan gambaran yang salah akan konsep mistik islam sebagai tasawuf atau realitas mistik islam. Keempat, realitas dalam televisi menggantikan realitas sesungguhnya. Realitas yang dibangun oleh televisi tidak memiliki rujukan apapun selain dirinya sendiri. Ia melegitimasi realitas yang dibuatnya tanpa rujukan tersebut dengan rutinitas dan masifnya penayangan. Simulasi mistik secara intrinsik mengantarkan agama pada citra yang berbeda dan tidak lagi sesuai dengan ajaran kitab suci Al-Qur’an ataupun hadist.

Contoh, sinetron Rahasia Ilahi justru tidak menjaga rahasia Tuhan. Praktek simulasi azab di dalam sinetron tersebut tidak ditemukan dalam realitas teks kitab suci Al-Qur’an maupun Hadist dan konteks masyarakat. Penggambaran yang dilakukannya benar-benar melampaui relitas tekstual dan realitas sosial yang mengitarinya.

Di sisi lain, simulasi mistik religius dalam industri televisi menandai terputusnya hubungan antara umat dengan ulama, selanjutnya konsep keduanya tergantikan menjadi jalinan hubungan antara konsumer dan selebritis. Peran ulama sebagai warosatul anbiya’ (pewaris para nabi) untuk menyerukan secara terus menerus ajaran suci kebaikan dan kebenaran agama perlahan pupus karena diambil alih oleh televisi dengan berbagai produknya. Melalui ustadz atau ulama selebritis produk industri televisi, agam diterjemahkan dalam versi menghibur (religiotainment) sesuai kebutuhan dan tuntutan industri terhadap komoditas itu sendiri.

Agamawan pasti selalu menyerukan kebajikan, sedangkan pedagang pasti selalu mencari keuntungan. Kalau ada agamawan mencari keuntungan melalui kebajikan yang diserukannya dan pedagang menyerukan kebajikan untuk mencari keuntungan, pastilah itu berhubungan dengan kapitalisme.

Lantas, bagaima cara menghadapi gempuran dan penyesatan televisi tersebut? Syahputra menawarkan agar penontonnya bertindak secara logis, imajinatif, spiritual. Menggunakan logika yang bersandar pada sikap kritis, argumentatif dan bekerja melalui perantara imajinasi yang bersifat reflektif serta spiritualitas sebagai landasannya.

Karya Syahputra ini patut diapresiasi dan dijadikan sebagai pedoman sebelum menonton dan menyikapi tayangan-tayangan mistis di layar kaca maupun layar lebar yang semakin menjamur hingga kini agar tidak “tersesat”. Bagaimanapun, simulasi yang dilakukan oleh televisi merupakan suatu “penyesatan” karena realitas di dunia nyata tidak bisa disempitkan ke dalam sebuah layar kaca.

Dimuat di Harian Jawa Pos pada 20 Maret 2011 dengan sedikit editan

Pedoman Menjadi Sufi Sosial

Kamis, 24 Februari 2011



Judul Buku                   : Kunci Rahasia Ketuhanan
Penulis                         : Muchammad Hormus
Penerbit                       : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan                       : I, Januari 2010
Halaman                       : xiii + 203 halaman
       Dunia sufi yang biasa diidentikkan dengan anti-sosial, menjunjung tinggi “egoisme dan hedonisme spiritual” yang menanggalkan dunia kemasyarakatan telah menjadi sebuah stigma dalam dunia keislaman. Selain juga, dunia tasawuf dan sufisme telah terstigma menjadi sebuah alat pertaubatan di hari tua, yang sebentar lagi akan menemui sang khalik. Buku yang berjudul Kunci Rahasia Ketuhanan ini tak hanya mendobrak stigma dan paradigma dalam masyarakat islam tentang dunia tasawuf dan sufi. Buku pedoman sufi ini—jika peresensi boleh menyebutnya—telah menjadi panduan bagi masyarakat muslim untuk menjadi seorang sufi sejati yang tak hanya egois dan hedon spiritual, mulai dari paling dasar hingga yang paling kompleks untuk menjadi seorang sufi sosial. Mendobrak paradigma yang mengatakan bahwa dunia tasawuf hanya diperuntukkan orang-orang tua yang akan menjemput ajal sebagai manifestasi pertaubatan. Semakin dini pembelajaran tasawuf dengan mengukur kemampuan seorang anak, baik dengan hanya membelajarinya berdzikir dan beribadah sunnah, semakin berpeluang seorang anak tersebut untuk mukasyafah dengan Allah.

      Dalam bab-bab awal buku ini, para pembaca diajak untuk menyelami dan mengikuti pedoman singkat menjadi sufi pribadi. Dasar-dasar seorang sufi diulas tuntas yang dimulai dengan menyucikan hati. Kemudian dalam bab-bab berikutnya, para pembaca akan dijadikan seorang sufi sosial yang tak menanggalkan dunia sosialnya karena keasyikannya bercinta dengan tuhan untuk mengingat kembali bahwa seorang sufi adalah manusia, bukan lah tuhan, yang mengharuskannya untuk kembali dalam dunia sosialnya dalam rangka menjalankan perannya sebagai khalifah Allah yang membawa misi rohmatan lil ‘alamin. Dengan begitu, kepedulian sosial sang sufi akan terbangun oleh perannya sebagai seorang khalifah yang haus akan keadilan dan menolak penindasan. Dunia sosial yang membuatnya turun dari keasyikannya “bercinta” dengan tuhan tanpa menanggalkan kesufiannya, dengan tetap mengingat allah di tengah-tengah keramaian dunia sosial. Kritis berjuang demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Perubahan dan pergolakan sosial dijalani dengan “bertapa” di tengah keramaian seolah-olah Allah menginginkan perubahan itu.

      Selanjutnya, pembaca akan dijadikan seorang ilmuwan sufi. Terus mengembangkan berbagai ilmu dengan spirit ketauhidan. Pergolakan antara Fiqih dan Tasawuf pada era Al-Ghazali dicontohkan sebagai yang ideal, dimana Al-Ghazali telah berhasil mengawinkan antara kedua kubu tersebut. Ilmu-ilmu agama dihidupkannya dengan ruh tasawuf. Tak hanya sampai disitu, buku pedoman ini juga memberikan cara pemosisian diri sebagai seorang sufi ditengah pergolakan ilmu-ilmu dunia dan ilmu-ilmu agama, dalam benturan keilmuan barat dan timur.

      Di bagian akhir, buku ini memberikan bimbingan bagaimana menjadi seorang mursyid--guru rohani--dalam menghadapi gangguan para musuh, yang dipoles dengan tulisan-tulisan pribadi ketika penulis dalam masa jahdzab-gila karena Allah- dan setelahnya, baik dalam bentuk puisi atau uraian singkat.

      Kompleksitas pedoman menjadi seorang sufi sosial adalah mainstream buku yang ditawarkan oleh penulis sebagai seorang mursyid yang melakukan proses pergulatan pemikiran dan spiritual sejak sebagai aktivis mahasiswa hingga masa jadzab dan setelahnya telah menjadi sebuah nilai plus bagi buku ini. Bahkan sampai kritik-kritiknya terhadap para sufi terdahulu semisal Abu Yazid Al-Busthami dengan ittihad dan Al-Hallaj dengan hululnya sebagai sesama Sufi.

      Dalam konteks keindonesiaan saat ini. Buku ini memberikan kritik terhadap kasus korupsi yang semakin marak di Indonesia saat ini akibat krisis moralitas bangsa dan memberikan spirit kekhalifahan untuk segera menanggalkan korupsi sebagai seorang sufi yang berperan menjadi khalifatulloh di bumi dengan spirit ketauhidan untuk menanggalkan korupsi sebagai penindasan terhadap rakyat yang bersebrangan dengan konsep Sufi Sosial, haus akan keadilan dan menolak penindasan terhadap rakyat Indonesia. Bahkan, konsep umat dalam perkembangan sosiologis menjadi bermakna sebagai warga negara yang menjadi “tanggungan” para penguasa untuk tetap mengayominya dalam rangka menjalankan perannya sebagai kholifatulloh sebagaimana rosululloh menjadi rohmatan lil ‘alamin, dan kenapa bukan rohmatan lil muslimin. Semua warga harus diayomi tanpa adanya diskriminasi, dan semua yang tertindas harus ditolong tanpa memandang SARA. Buku yang relevan dengan konteks keindonesiaan saat ini, dan menawarkan jalan keluar bagi permasalahan bangsa saat ini. Semua tulisan seorang mursyid ini telah menjadi nilai lebih buku, yang tak hanya sebuah karangan biasa.

      Namun, yang menjadi agak ganjal dalam benak saya adalah, bagaimana seorang jadzab bisa menulis sebuah karangan yang pada masa tersebut ia berstatus gila—gila karena Allah—meskipun terkadang ingatannya kembali seperti semula namun sebentar dan kemudian kembali ke keadaan semula, hilang kesadaran jiwa tertarik pada tarikan cinta dan kasih sayang ilahi yaitu jadzab. Selain itu, mengapa buku yang sebenarnya bersifat private ini diterbitkan untuk diketahui publik? Jika boleh menebak disertai rasa hormat, mungkin buku ini adalah sebagai bukti bahwasanya penulis adalah sang sufi sosial sejati, yang ingin mengembangkan kesufiannya sebagai jawaban atas kasus-kasus yang melanda bangsanya dan menyengsarakan banyak masyarakat. itulah spirit seorang sufi sosial yang haus akan keadilan dan menolak penindasan. Namun, hal ini juga menjadi sebuah paradoks, dimana ketika mengkritik Abu Yazid Al-Busthomi dan Al-Hallaj ia mengkritik dengan nafsu. Dan dengan itu pula saya mengkritiknya, apa penerbitan buku ini juga merupakan sebuah nafsu yang menjadikan kesufiannya kurang sempurna layaknya Abu Yazid Al-Busthomi dan Al-Hallaj. Namun bagaimanapun juga seorang sufi yang mampu mengendalikan ego dan hedon spiritualnya adalah seorang yang tak hanya dekat dengan Allah, namun juga dengan manusia, yang tak rela melihat orang disekitarnya tertindas dan membuatnya “turun” untuk menjalankan misinya. Tak dapat diragukan lagi, buku ini adalah sebuah sumbangsih dari sang mursyid untuk bangsanya, apalagi yang membuat bangsa ini enggan membacanya? Baca dan rasakan lah perjalanan menjadi seorang sufi sosial layaknya Sang Mursyid—penulis buku ini.

Kehidupan Gie yang Kedua


Judul            : Soe Hok Gie.....sekali lagi
                        Buku, Pesta, dan Cinta di Alam Bangsanya.
Penulis          : Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R (ed.)
Penerbit        : KPG (Kepusatakaan Populer Gramedia) bekerja sama dengan Universitas Indonesia, ILUNI Universitas Indonesia, dan KOMPAS.
Tahun           : 2009.
Halaman        : XL + 512 halaman.

      Setelah proklamasi, kebenaran atas nama revolusi menghagemoni Indonesia, pahlawan proklamir kemerdekaanlah yang mencanangkannya, Soekarno. Segala tindakan pemerintah diatas namakan revolusi. Dan setelah memasuki era demokrasi terpimpin, kediktatoran Soekarno mulai menjadi, walaupun sebagian masyarakat membenarkan segala tindakannya karena ia adalah sang pahlawan proklamasi. Semua penentang revolusi dianggap sebagai musuh bangsa. PNI yang merupakan tunggangan politik Soekarno menjadikan PKI sebagai mitra berpolitiknya. Ia makin diktator dengan mengatasnamakan revolusi dan menggandeng PKI.
      Soekarno dilengserkan oleh ABRI dan para mahasiswa Indonesia. “panggung sandiwara” Soeharto sukses menumbangkan rezim Orde Lama dengan “partner”nya, mahasiswa. Para petinggi pergerakan mahasiswa yang ikut andil dalam pelengseran Orde Lama tersebut “dipinang” dengan kursi DPR GR. Para oportunis mahasiswa tergoda dengan kursi madu yang ditawarkan Soeharto. Mereka mengkhianati perjuangan mahasiswa.
      Pergolakan antara moral force dan political force semakin memanas setelah lengsernya Orde lama dengan “dipinangnya” para petinggi mahasiswa di DPR GR. Ialah Soe Hok Gie, salah seorang tokoh mahasiswa yang berpihak pada moral force. Para anggota PKI dikambing hitamkan dengan sebuah sandiwara, “tragedi lubang buaya.” Pembantaian massa anggota PKI pun terjadi. Soe Hok Gie yang menjadi “partner” Soeharto pun geram. Kritik-kritik terhadap pemerintahan Soeharto dilontarkannya lewat media massa. Ia seakan tak kuasa melihat ketidak adilan, termasuk ketidak adilan terhadap PKI yang dulunya merupakan “musuhnya.” Rasa ini tumbuh dalam dirnya dengan melihat penderitaan rakyat Indonesia dari dekat, terutama dengan mendaki gunung. Ia tak kuasa melihat “kepalsuan” kota Jakarta dan memilih untuk mengenali bangsa lebih dekat.
      Buku yang berjudul Soe Hok Gie Sekali Lagi merupakan refleksi kehidupan seorang idealis sejati secara kompleks yang ditulis oleh teman-teman sejawatnya ataupun teman “jauhnya” adalah mainstream buku ini, bahkan sisi lain kehidupan Soe Hok Gie pun diungkap dalam buku ini, yakni dunia percintaan Soe Hok Gie. Pada awal bagian buku, pembaca diajak para saksi mata tragedi Semeru mengikuti pendakian dan melihat kisah sedih tentang kematian seorang pejuang sejati bangsa dari dekat. Profile Gie dihidupkan kembali dalam buku ini, mulai dari Gie di lingkungan Universitas sampai dirinya sebagai seorang demonstran dan perjuangannya yang tulus didedikasikan untuk bangsa Indonesia, meski dirinya seakan “tak diakui” sebagai bagian dari bangsa ini. Tulisan-tulisan Gie sengaja dimuat kembali dalam buku ini agar para pembaca mengetahui perjuangan-perjuangan lewat tulisan-tulisan Soe Hok Gie, baik itu berupa catatan harian, tulisan di media massa, ataupun skipsinya.
      Kompleksitas buku ini, Kompleksitas profile seorang Gie yang diceritakan kembali oleh kawan-kawannya menjadi sebuah kelebihan buku ini. Profile utuh seorang Gie yang seakan tak cukup dituliskan dalam 500 halaman. Sampai dunia percintaan seorang Soe Hok Gie pun diulas. Tak hanya itu, dalam buku ini pun dilengkapi dengan tulisan orang-orang yang terilhami oleh sosok Gie termasuk Nicolas Syahputra. Bahkan buku tipis ini pun memuat sebuah resensi film berjudul GIE. Ditambah dengan tulisan-tulisan teman-teman “jauhnya” yang semakin melengkapi dan mewarnai buku ini.
      Namun, teman sejawat Gie pada saat ini pasti lah sudah berumur 60an tahun, sehingga membuat saya meragukan ingatan orang tua yang biasa mengidap pikun. Kemungkinan distorsi sangat terbuka lebar dalam buku ini. Di sisi lain, buku ini pun juga telah “mencuri” bagian-bagian buku lain yang telah ditulis sendiri oleh seorang Soe Hok Gie, sehingga pembaca cenderung akan bosan jika sudah pernah membaca karangan-karangan Soe Hok Gie.
      Tujuan dari penulisan buku ini tak lain adalah untuk menghadirkan kembali sosok Soe Hok Gie di tengah masyarakat Indonesia tertuma kalangan mahasiswa, sosok pemegang teguh idealisme yang menjadikannya sebagai pejuang sejati bangsa Indonesia. Oleh karena itu, buku ini layak dibaca oleh siapapun yang ingin memahami semangat nasionalisme seorang pemuda idealis, yaitu Soe Hok Gie. Terutama kalangan mahasiswa, khususnya mahasiswa pergerakan sebagai bahan renungan dalam aktivitsnya. Para pemuda sekarang adalah pemimpin bangsa di masa yang akan datang. Mereka adalah “pengawas” pemerintahan di masanya, yakni mahasiswa.

Orang Miskin Dianjurkan Punah

Andaikan di bioskop-bioskop abad 21 bertengger judul Pencuri Sepeda, mungkin penjual karcisnya akan lebih memilih ngopi di angkringan sambil ngobrol bersama teman-temannya daripada bekerja menjual karcis film. Begitupun saya, jika si penjual karcis saja ingin ngopi ke angkringan, mending saya tidur saja menjamu mimpi seketika membaca judul—membosankan—film itu. Untungnya saya –sering-- disebut mahasiswa. Terpaksa niat tersebut diselipkan dalam kebosanan dengan menikmati AC ruang multimedia.

Monggo

Pasca perang dunia kedua, depresi ekonomi melanda dunia, tak terkecuali Italia yang beribukotakan Roma. Akibatnya, industri perfilman pun ikut terlanda kesulitan ekonomi hingga membuat orang-orang perfilman menjadi “ekonom” –tanpa harus kuliah-- perfilman dengan kalkulator di hatinya. Depresi ini pula nampaknya yang melatarbelakangi De Sicca memilih genre neorealism dalam Bycicle Thieves; irit biaya, tanpa polesan. Dengan menggambarkan realitas sosial pasca perang dunia II di Italia, tepatnya Roma.
            Film yang diperankan oleh Lamberto Maggiorani (Ricci), seorang pekerja pabrik, Enzo Staiola (Bruno), seorang anak yang kebetulan ditemukan Sicca di lokasi syuting, dan Lianella Carell (Maria) ini menceritakan tentang “sepeda adalah kehidupan dan hidup adalah sepeda”. Antonio Ricci tiba-tiba ditawari pekerjaan sebagai penempel poster “tanpa mengantre” diharuskan mempunyai sepeda agar bisa bekerja sebagai penempel poster. Keluarga miskin macam Ricci sebagai kepala keluarga tentunya sulit untuk mendapatkan sepeda. Apalagi di tengah himpitan ekonomi pasca perang dunia. Lengkap sudah. Maria terpaksa menjual sprei mas kawin demi mendapatkan sepeda, tepatnya pekerjaan sang suami. Ironisnya, Ricci harus puas bekerja selama beberapa jam saja karena sewaktu menempel poster di hari pertamanya bekerja, sepeda kehidupannya dicuri orang. Ia pun diharuskan mencari sepeda kehidupannya agar tetap hidup. Bersama anaknya, Bruno, ia berusaha sekuat tenaga untuk mencari sepedanya, kehidupannya.
            Memang salah satu kelebihan film bergenre neorealism adalah menampilkan segalanya apa adanya. Setelah beberapa menit menonton film ini, keadaan apa adanya inilah yang membuat saya menggugurkan kebosanan sejak membaca judulnya. Emosi saya dipaksa patuh pada penderitaan masyarakat dalam film tersebut karena keadaan serupa sedikit banyak masih ada kemiripan dengan yang terjadi saat ini, di negara ini. Pertama, dua pengamen kecil yang ditendang oleh orang dewasa saat bekerja—mengamen. Bukankah saat ini masih banyak orang jijik dan tak sudi diameni?. Kedua, sepeda Ricci yang hilang. Bukankah memang faktor kemiskinan meningkatkan aksi kejahatan dan kriminal?. Beberapa stasiun televisi di negeri ini sering memberitakan aksi pencurian, pencopetan, dan perampokan yang dilandasi oleh faktor ekonomi demi menghidupi keluarga. Tak heran jika Ricci akhirnya juga mencuri sepeda demi menghidupi keluarganya.
            Ketiga, ketidak adilan yang menimpa Ricci saat mengadukan kehilangan sepedanya pada polisi. Polisi seakan enggan jika hanya mencarikan sepeda. Sepeda kehidupan seorang penempel poster. Para polisi hanya mau jika mencarikan emas. Emas kehidupan orang kaya. Jika saja penjual rumput di desa-desa terpencil kehilangan sabitnya, mungkinkah polisi akan mencarikan?. Orang miskin harus terus menderita seperti halnya Ricci. Seperti kata Iwan Fals, “Kesedihan hanya tontonan bagi mereka yang diperkuda jabatan.” Bahkan, saat Bruno ingin kencing ketika sedang mencari-cari sepeda bersama ayahnya sambil berlarian, ia harus menahan “hajat darurat” nomor duanya tersebut untuk terus menikmati penderitaan karena orang miskin dilarang pipis. Keempat, orang miskin dilarang beribadah. Ricci mendapati orang tua yang pernah dilahatnya berbincang dengan si pencuri sepedanya di Gereja. Lantas Ricci pun berusaha mengajak pak tua keluar untuk diinterogasi, kalau perlu secara paksa. Ajakan Ricci pada pak tua tersebut sontak membuat kekhusyukan ibadah jemaat-jemaat lain terganggu. Bagaimana bisa beribadah dengan khusyuk jika perut masih kosong?. Tuhan orang-orang miskin banyak yang tergantikan oleh perut. Himpitan ekonomi mengharuskan mereka bertuhankan perut.
            Orang miskin adalah tempat salah. Ricci juga disalahkan saat si pemuda yang diyakininya adalah pencuri (berpura-pura) sakit di depan umum. Ataupun pada saat Ricci hanya ingin melihat serial number salah satu sepeda. Jika anda bersalah, limpahkan kesalahan anda pada orang miskin. Niscaya mereka akan menerimanya dengan (terpaksa) ikhlas. Saya jadi teringat acara di salah satu stasiun televisi negeri ini yang mendatangkan sepasang suami istri tuna netra miskin yang dituduh menyimpan narkoba. Melihatpun mereka tak kuasa, apalagi menyimpan narkoba. Namun, mereka tetap dipenjara bertahun-tahun. Kurang ajarnya, mereka menerimanya dengan (terpaksa) ikhlas dan menjalaninya tanpa protes selama bertahun-tahun. Mungkin kekurangajran itu pula yang dilakukan oleh beberapa tahanan yang dituduh PKI di masa kemarin.
           Orang miskin memang jarang merasakan kebahagiaan. Mereka lebih akrab dengan penindasan. Begitupun Ricci dan Bruno, untuk bahagia saja mereka harus berpura-pura. Ricci berpura-pura bahagia saat mengajak Bruno untuk makan enak di sebuah restoran malah berimbas pada ditindasnya Bruno akibat melihat salah satu orang kaya tanpa henti memakan semua makanan enak yang tersedia. Namun, Bruno harus puas dengan seporsi makanan enak demi pura-pura bahagia. Kekayaan merupakan penindas kemiskinan.
            Di tengah himpitan permasalahan, terutama masalah perokonomian, masyarakat dipaksa percaya kepada paranormal selayaknya Ricci mempercayai paranormal yang dulunya tidak ia percaya sama sekali. Semua ke—apa adanya—an ditampilkan secara natural dalam film tanpa malam dengan mayoritas adegan di luar ruangan. Ke—apa adanya—an yang mirip dengan apa yang terjadi saat ini, di negeri ini, yang menjadi kelebihan film hitam putih sederhana. Film yang tak hilang ditelan zaman. Ke--serba kurang--an pasca perang dapat dijadikan oleh Sicca sebagai kelebihan film ini.
            Orang miskin memang bukan makhluk yang langkah, akan tetapi selalu saja diusahakan menjadi langkah dan punah. Minimal anggap saja tidak ada. mereka memang bukan hewan, akan tetapi selalu saja diusahakan menjadi hewan. Kiranya memang begitu nasib orang miskin. Jikalau perlu, buatlah itu menjadi fitrahnya. Dari dulu hingga sekarang, dimanapun, Orang Miskin Dianjurkan Punah.

Sup Persaudaraan

Sistematis-Hierarkis. Itulah komentar singkat saya setelah menonton The Battleship Potemkin. Lima adegan yang saling memiliki ketergantungan dan dimulai dengan tahapan terendah hingga tertinggi, runtut-urut. Adegan pertama, Men and The Maggots, menunjukkan kekesalan para awak kapal karena baru menyadari kalau selama ini mereka makan daging yang sudah busuk dan berbelatung. Adegan ini diawali dengan orasi Vakulinchuk, salah satunya dengan kalimat orasinya “Kita, pelaut Potemkin, harus mendukung saudara-saudara kita, kaum pekerja. Kita harus berdiri di front terdepan revolusi,”. Kedua, Drama In The Harbour, menceritakan pemberontakan para awak kapal melawan petinggi-petinggi kapal. Ketiga, A Dead Man Calls for Justice, berkisah tentang penyemayaman jasad Vakulinchuk di Odessa dengan hiruk pikuk tangis orang-orang setempat. Keempat, The Odessa Staircase, menceritakan ribuan orang Odessa yang berbela sungkawa dengan melakukan aksi mogok massa serta mengirimkan bahan makanan bagi pelaut-pelaut potemkin dan menuntut balas atas kematian Vakulinchuk yang seketika dijawab tentara rezim Tsar dengan senjata api. Kelima, The Meeting with The Squardon, kematian warga Odessa mendorong awak potemkin untuk membebaskan Odessa dari kekuasaan rezim Tsar dengan kapal-kapal Squadron sebagai rintangannya –meski akhirnya urung terjadi akibat rasa persaudaraan sesama kaum tertindas yang tumbuh dalam jiwa mereka.

Film besutan sutradara asal Rusia, Sergei Einstein ini dibuat pada tahun 1925 dengan mengambil setting waktu 1905 yang merupakan salah satu babak penting dalam Revolusi di Rusia. Peristiwa yang minim perencanaan ini turut andil dalam mengangkat derajat ketidakpercayaan rakyat Rusia pada Tsarisme hingga menemukan puncaknya pada tahun 1917, yakni Revolusi Oktober 1917. Einstein yang merupakan pendukung dan propagandis revolusi dinilai sukses dalam melakukan propagandanya dengan menggunakan film, terutama kelihaiannya mengaduk emosi penonton dengan pembantaian kaum Tsar dalam adegan The Odessa Staircase. Namun, agaknya propaganda Einstein kurang mempan terhadap saya—entah karena saya menonton dengan malas-malasan dan merokok. Malah sebaliknya, yang saya lihat dan garis bawahi adalah rasa persaudaraan para awak Potemkin, Squadron, dan warga Odessa. Rasa persaudaraan yang semakin hari diobral oleh dunia materi. Disitu, saya malah melihat rasa persaudaraan yang sangat mahal, namun berbandrol murah, yakni seharga semangkuk sup. Rasa persaudaraan ini pula yang nampaknya menjadikan rakyat kecil atau tertindas tidak terkalahkan, bahkan oleh pemuka agama (adegan dipukulnya pemuka agama saat mengatakan “ingatlah Tuhan”) sekalipun, atau jangan-jangan memang itu kehendak tuhan?—entahlah. Hal ini membuat saya membayangkan Rusia di zaman tersebut layaknya suatu desa pedalaman di Kulonprogo yang pernah saya kunjungi dengan rasa persaudaraannya. Lucu, unik, menarik.

Rusia memang identik dengan komunisme, tentunya dengan Marx, Si bapak ilmu sosial yang kondang dan mengurung keilmuan sosiohumaniora dalam dirinya. Hal ini mengingatkan saya akan perlakuan negeri ini pada seorang tokoh komunis yang merupakan salah satu founding father negeri ini, Tan Malaka. “Tan adalah senior Hatta dan Soekarno, ia menulis tentang republik ini 6 tahun sebelum Hatta dan 9 tahun sebelum Soekarno,” kata Harry Poeze dalam Seminar “Tan Malaka; Sejarah yang Terlupakan” di gedung Pasca Fisipol UGM. Dalam curhatannya di pembuka Madilog, dengan nada sindiran atas perbedaan perlakuan dan fasilitas yang didapatnya dan Soekarno, ia seakan menyindir negeri ini yang tidak adil karena ketidaktahuannya. Ironis-tragis.

Bolehlah sekiranya saya membanding-samakan semangat komunisme di Indonesia(dahulu) dan Rusia (dalam film tersebut), semangat persaudaraan atas ketertindasannya. Salah satunya lewat “kata-kata sakti”-nya. Kata-kata sakti dalam film tersebut antara lain, “All for one and one for all” dan “Land is our and future is our”. Sedangkan, di Indonesia, kalimat sakti tersebut terdapat dalam lagu “Darah Rakjat” yang sudah 30 tahun lebih dilarang diputar, dimainkan, dan didengar.
Berikut sebagian liriknya:
Darah rakjat masih berdjalan menderita sakit dan miskin.
Pada datangja pembalasan rakjat jang mendjadi hakim.
Rakjat jang mendjadi hakim, ajo, ajo bergerak sekarang.
Kemenangan pasti akan datang merahlah warna pandji.
Kita merah warna darah rakjat merah warna darah rakjat.

Pada awal film Battleship Potemkin diperlihatkan kekesalan para awak kapal karena telah memakan daging busuk dan berbelatung, tal terkecuali supnya. Sup yang mengakibatkan terbunuhnya pemimpin mereka (adegan yang menampilkan tulisan “killed for a plate of soup”). Sedangkan, di akhir, film ini ditutup dengan urungnya pertempuran Potemkin melawan Squadron karena rasa persaudaraan sesama kaum tertindas. Jika demikian, saya lebih suka menjuduli film ini dengan “Sup Persaudaraan”. Lebih nikmat didengar dan dibaca saat negeri ini sedang dilanda krisis persaudaraan. Apalagi jika dimakan, pasti lezat rasanya. Daripada Battleship Potemkin (Kapal Perang Potemkin) yang sarat dan mengandung konflik.