Diajajah Sekali Lagi

Senin, 07 November 2011


Judul Buku          : Fungsikan Surveyor, Jangan Biarkan Asing Kuras Tambang Kita.
Penulis                 : Abdul Jabar Yoesoef
Penerbit              : PT Alex Media Komputindo
Cetakan               : Pertama, Maret 2011
Tebal                     : xviii + 270 halaman
ISBN                      : 978-979-27-9624-7

Puluhan tahun silam, Bung Karno telah memperingatkan bangsa Indonesia agar jangan hanya menjadi kuli di negeri sendiri dan kuli di antara bangsa-bangsa.

Meski Indonesia mempunyai kekayaan alam yang berlimpah. Hingga kini, negeri gemah ripah loh jinawi ini tak kunjung menuai kesejahteraan. Berlimpahnya kekayaan alam tidak mampu dimanfaatkan dengan baik demi kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, seluruh kekayaan alam secara suka rela diberikan kepada para investor asing untuk dieksploitasi demi keuntungan pribadi.

Sejarah panjang eksploitasi kekayaan alam, terutama pertambangan, sudah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Saat itu, tentu semua hasil keuntungan akan diangkut ke negeri kincir angin tersebut. Keadaan saat ini sebenarnya tidak jauh beda dengan masa penjajahan Belanda.

Pasalnya, para penanam modal asing dengan leluasa mengeruk seluruh kekayaan negeri ini demi keuntungan pribadinya. Hampir 90 % dari penanaman modal di bidang pertambangan didominasi oleh para investor asing. Meskipun sebenarnya, penanaman modal asing ini merupakan salah satu langkah yang diambil oleh pemerintah untuk memajukan bangsa dalam jangka panjang. Mengingat, yang dimiliki Indonesia hanyalah kekayaan alam.

Sedangkan, teknologi, pengalaman, modal serta sumberdaya manusia yang kurang cakap menghendaki Indonesia agar tidak mengeksplorasi kekayaannya demi keuntungannya sendiri. Alhasil, ia hanya sanggup menjadi kuli di negeri sendiri. Menyaksikan kekayaannya diangkut ke luar negeri oleh orang lain.

Mulai Transfer Pricing Hingga Kerusakan Lingkungan
 Para penambang asing yang mendominasi pengeksploitasian kekayaan alam Indonesia lebih cenderung untuk melakukan penjualan ekspor ketimbang memenuhi kebutuhan dalam negeri. Mengingat, jumlah permintaan dunia akan energi semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dunia. Si Emas Hitam batu bara misalnya, kini menjadi primadona serta incaran para penambang akibat konsumsi listrik dunia yang meningkat.  

Tentu, sasaran utama para penambang tersebut adalah untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Sayang, pajak yang harus dibayarkannya untuk Indonesia seringkali dimanipulasi. Salah satunya melalui praktik transfer pricing.

Transfer pricing merupakan upaya penambang untuk mengecilkan harga jual ekspor mineral agar pembayaran pajak maupun royalti atas penjualan dan ekspor produk pertambangan semakin mengecil (hal xiv). Padahal, pendapatan terbesar negara diperoleh dari hasil pemungutan pajak dan royalti pertambangan. Alhasil, negara sangat dirugikan oleh adanya praktik transfer pricing ini.

Sementara itu, sejak reformasi perpajakan pada tahun 1983, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1994 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, sistem pemungutan pajak di Indonesia berubah dari sistem official assesment menjadi self assesment. Secara resmi, sistem ini sudah berlaku sejak tahun 1993.

 Sistem official assesment merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Fiskus (Direktorat Jenderal Pajak) untuk memutuskan besarannya pajak yang terutang terhadap wajib pajak. Sedangkan, sistem self assesment merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang penuh kepada wajib pajak untuk menentukan besarannya pajak terutang (hal 53).

Penetuan secara sepihak oleh para penambang asing sebagai wajib pajak inilah yang menjadi celah lebar bagi pemanipulasian pajak. Lebih parah lagi, hingga kini Indonesia belum mempunyai standar harga mineral tambang yang umum digunakan seperti London Metal Exchange (LME). Sehingga, tidak adanya standar harga tersebut menyulitkan pemerintah untuk memastikan apakah harga yang diberlakukan perusahaan tambang sebagawai wajib pajak di bawah standar atau tidak.

Selain kerugian dalam hal pemungutan pajak, kerusakan lingkungan juga menjadi kerugian lain yang diderita oleh Indonesia. Kegiatan di sektor pertambangan memiliki potensi untuk merusak lingkungan, baik tanar, air, maupun udara. Sementara, umumnya pertambangan yang dilakukan di Indonesia menganut sistem pertambangan terbuka (open fit). Dimana sistem ini sangat dihindari karena resiko dan dampaknya yang sangat besar terhadap lingkungan. Tidak cukup sampai disitu, para penambang seringkali mengabaikan kewajiban reklamasi dan reboisasi tambang pasca-eksploitasi tambang.

Data Luas Penetapan Kawasan Hutan yang dikeluarkan Departemen Kehutanan menyebutkan memang terjadi penyusutan luas hutan. Disebutkan bahwa 1950 luas hutan 162 juta hektar. Di tahun 1992 luas tersebut menjadi 118,7 juta hektar dan tahun 2003 turun lagi menjadi 110,0 juta hektar. Hingga tahun 2006 luas hutan Indonesia tinggal 93,92 juta hektar. Artinya, hanya tinggal separuh lebih sedikit dibanding luas hutan setengah abad yang lalu.

Untuk mengatasi semua penyelewengan yang dilkukan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut, Yoesoef mengusulkan untuk menoptimalisasikan Independent Surveyor sebagai penengah antara perusahaan penambang dan pemerintah sekaligus sebagai polisi yang mengawasi kekayaan mineral Indonesia. Dalam buku ini, ranah kerja Independent Surveyor dijelaskan oleh Yoesoef dengan sangat praktis-operasional. Seperti apa saja yang harus dikerjakan oleh Independent Surveyor mulai awal hingga akhir.

Tiap lembar buku ini membeberkan data-data yang mencengangkan sekaligus menyedihkan. Sayangnya, penyajian yang kurang sistematis mengakibatkan pembahasan seolah-olah hanya berputar-putar pada hal yang sama.

Terlepas dari kekurangan dan kelebihannya, buku ini berhasil menegaskan kembali bahwa kita telah dijajah sekali lagi. Bahkan, untuk menjadi kuli di negeri sendiri saja masih sangat susah nan mewah.