Merobohkan Berhala Ijazah; Sebuah Usaha Memanusiakan Manusia*

Minggu, 26 Februari 2012

Saat mengamati ujian doktoral, Nietzsche (1891) pada waktu itu menulis:

Apakah tugas seluruh pendidikan tinggi? Mengubah manusia menjadi mesin
Apa sarannya? Orang harus belajar untuk tahan menjadi bosan
Bagaimana hal itu dicapai? Orang harus belajar untuk tahan menjadi bosan
Bagaimana hal itu dicapai? Dengan konsep kewajiban
...
Siapakah yang dipandang orang sempurna? Pegawai negara
...
Selanjutnya, pada tahun 1970, melalui Deschooling Society, giliran Ivan Illich yang berkhotbah ihwal pendidikan. Menurutnya, sekolah tidak serta merta sama dengan pendidikan. Sekolah, baginya, bersifat mekanistik dan telah memancung kemanusiaan. Institusi ini hadir sejalan dengan masyarakat industri yang kapitalistik. Alhasil, ijazah menjadi alat yang paling ampuh untuk menaikkan kelas sosial, bahkan nafas kehidupan, lantaran telah melegitimasi kompetensi sekaligus kualitas seorang manusia. Kini, betapapun kepandaian seseorang hingga melangit, bila tanpa ijazah ia acapkali hanya akan (dianggap) menjadi sampah. Sebaliknya, betapapun bodohnya seseorang hingga melata, bila dengan ijazah, ia akan (dianggap) seindah mutiara.


Bila dibandingkan dengan pesantren, dengan santri sebagai peserta didik, yang terjadi malah sebaliknya. Lazim dimafhumi bahwa Pesantren tidak menyediakan ijazah bagi santrinya. Kecuali pesantren yang kini sudah banyak dikombinasikan dengan sekolah. Dulu, kelulusan seorang santri tidak tersekat masa. Ia dianggap lulus bilamana siap mengabdi pada masyarakat. Tingkat keahliannya tidak diukur dari ijazah, tapi dari kebermanfaatannya pada masyarakat. Baik dalam bidang sosial, ekonomi, budaya, dan terutama ialah agama. Kelak, setelah mereka lama mengabdi, kebanyakan dari mereka akan bergelar Kyai tanpa memintanya dari masyarakat, akan tetapi diadili seadil-adilnya sesuai dengan pengabdiannya.


Gus Dur misalnya, sudah pernah belajar di beberapa universitas luar negeri seperti di Mesir, Bagdad, Canada, Australia, dlsb, tetapi tak pernah mengantongi ijazah. Hanya ilmu yang ia bawa pulang untuk disumbangkan ke masyarakat. Dengan tanpa ijazah, ketika tiada, tanpa meminta, ia diberi gelar Guru Bangsa


Dengan begitu, seorang santri, apalagi yang duduk di perguruan tinggi, sudah semestinya tidak menyekutukan Tuhan dengan ijazah. Bahwa yang memberi mulutnya makanan dan minuman bukanlah ijazah, akan tetapi Tuhan. Bahwa bukan ijazah yang bermanfaat bagi masyarakat, akan tetapi ilmu. Lebih dari itu, seorang santri, bila kuliah mengemban amanah untuk membebaskan lingkungannya sekaligus umat manusia. Memanusiakan robot-robot perguruan tinggi seperti yang dituduhkan Nietzche. Dengan kata lain, jikalau mengamini bahasa Albert Camus, novelis, esais dan penulis drama berkebangsaan Perancis yang memperoleh Nobel sastra pada 1957 dalam Le Mythe de Sisyphe (1942) atawa Myth of Sisyphus (1955), ialah membebaskan manusia yang terkurung dalam absurditas. Yakni orang yang hanya hidup untuk meritualkan ritus rutinitas dengan mendorong batu ke puncak gunung, namun, selalu gagal. Batu itu kembali menggelinding ke lembah dan ia harus kembali mengangkatnya ke puncak. Begitu seterusnya. Sekadar menjalani rutinitas dengan penuh siksaan sembari dengan bangga mengenakan mahkota kebanggaan dan kemenangan. Padahal, kematian sudah menunggu di ujung jalan. Mereka hidup tanpa arti! Sampai Mati!




*Majalah Sarung CSS Mora UGM