Sempak Sebagai Tema Jurnal : Sebuah Telaah Filosofis, Kritis dan Mistis

Sabtu, 10 Februari 2018

Ferdi Febianno Nikmatul Mukminin Sedang Unboxing Sempak

Alhamdulillah, pertimbangan hukum tentang unboxing sempak yang saya tulis sebelum ini telah mendapatkan respon yang positif dari saudara seiman saya, Ferdi Febianno Nikmatul Mukminin.

Oleh karena itu, saya tidak akan menyia-nyiakan balasan itu begitu saja. Di sepertiga malam saya, di tengah sujud tahajud saya yang khusyu', saya menyempatkan menulis balasan ini sembari tahiyyat. Telunjuk tangan kanan saya tahiyyat, dan tangan kiri saya mengetik. Hati nurani saya gelisah, meronta dan terombang-ambing.

Sebab, dalam balasannya itu, termaktub pertanyaan yang menurut saya, begitu filosofis, kritis dan mistis. Kira-kira bunyinya begini, "Pantaskah unboxing sempak ini masuk bursa tema jurnal? Karena eratnya tema ini dengan nafas-nafas anti-modernisme berselimut intelektual yang selama ini kita perjuangkan, apakah pantas forum menolak ini sebagai juara tunggal debat bursa tema?"

Tulisan ini diikhtiarkan untuk menjawab pertanyaan maha sulit di atas.

Secara singkat, saya akan akan menjawab dengan lugas, "Pantas!". Dengan catatan bahwa yang dijadikan tema adalah sempak, bukan unboxing sempak secara spesifik. Kita tentu masih ingat dengan penggagas agung nan adiluhung pembacaan ulang jurnal, M Adhi Pratama, yang senantiasa mengingatkan kita bahwa tolak ukur tema Balkon --yang mengantarkan nak Ferdi Febianno Nikmatul Mukminin ke Amereka-- adalah SUKA.

Stop. Saya tahu anda akan menginterupsi seperti Ahmad, pemain utama film bercinta di atas kubah maskam yang hobinya Mubes seumur hidup itu karena saya menjadikan tolak ukur SUKA untuk tema jurnal.
Memang ini jurnal, tapi karena pembahasan kita dilakukan secara online, anggap saja ini Balkon dalam format jurnal online dengan tolak ukur SUKA agar perdebatan kita tidak meluber dan berceceran kemana-mana sebagaimana mantan dan mantan calon anaknya Taufik Alzurjani dan Arif Akbar JP itu.

Kita mulai dari S, Signifikansi.
Siapa yang meragukan signifikansi sempak, yang dipakai oleh hampir seluruh umat manusia, kecuali yang tidak memakai tentunya. Sampai saat ini, saya belum mendengar ada orang yang mencanangkan "No Sempak Day" sebagaimana "No Bra Day" yang ramai diperingati warganet setiap 13 Oktober. Dalam perspektif mistis, kita tahu dari stasiun-stasiun tivi khafitalisma jang hqq, bahwa tuyul pun bersempak. Bahkan, kalau kita mau lebih jauh, ada setan yang dengan trademark merk sempak dan warna sempak tertentu, Kolor Ijo. Barangkali, pocong pun, kalau anda mau sedikit kritis dan berani membuka tali pocong dan kain kafannya, mereka mungkin saja juga memakai sempak. Mengingat waktu dinas mereka kebanyakan adalah malam hari dengan udara dingin yang menusuk tulang. Meski mereka tidak berwudlu atau shalat subuh, tetap saja, dinas malam di tengah udara dingin mengharuskan pocong memakai sempak. Kalau bisa dua lapis. Tentu tidak lucu kalau di tengah dinas menakut-nakuti umat manusiya, mereka kebelet kencing, bukan?

U, Urgensi.
Masalah sempak adalah masalah yang begitu urgent karena menyangkut hajat hidup orang, genderuwo dan jin yang banyak. Bahkan mungkin, hampir semua. Sebab, sebagaimana saya sebutkan di atas, mereka semua membutuhkan sempak. Tak ada kehidupan yang lebih indah daripada kehidupan yang bersempak hqq. Jangan-jangan, di surga nanti, kita juga harus bersempak karena perkara sempak apalagi yang di dalamnya adalah perkara yang menyangkut kenikmatan surgawi.

K, Kedekatan.
Tolong sebutkan, barang apa yang lebih dekat dari umat manusia dan jin daripada sempak? Tidak ada. Perkara sempak adalah perkara umat manusia yang paling dekat dengan mereka. Kalau jarak yang paling jauh, sedekat ini yang saya tahu sih, baru jutaan tahun cahaya, sebagaimana dituliskan Ananda Dewi Kharisma Michellia dalam novelnya yang berjudul Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya dan mirip dengan novel terbaru Tomi Wibisono yang berjudul Hisapan Panjang Tentang Aibon Kita yang Milyaran Tahun Nikmatnya. Soal jarak, tentu nak Ferdi Febianno Nikmatul Mukminin masih hafal jarak antara Jakarta - Singapura atau Yogyakarta - Jakarta karena di sepanajang jalan itu, banyak kenangan ananda yang tercecer dan terinjak-injak.

A, Aktual.
Selain sarapan, adakah urusan lain yang biasa dilakukan umat manusia setiap pagi, selain urusan sempak? Tidak ada! Setiap pagi mereka pasti mencuci dan memakainya bukan? Jadi, tidak ada yang lebih aktual dari sempak. Tema ini selalu baru dan tidak akan pernah basi untuk kita angkat.

Jadi, sudah jelas, tema persempakan memang layak diangkat. Sebab tema ini jauh lebih menarik ketimbang tema transortasi saya yang saya loloskan dengan sedikit konsiprasi bersama Mbak Jajan. Apalagi, jika dibandingkan dengan tema Kanoninasi Sastra milik Dik Purnama dan Dik Dewi Kharisma Michellia yang terasa kekimcil-kimcilan itu. Apalagi, jika disejajarkan dengan tema agraria milik pejuang agraria Widada dan pejuang agraria yang berselingkuh dengan BPK Luqman Zaqi Jatibenang, yang cuma modal buku --kalau tidak salah ingat-- Setongkol Jagung. Baaahhh! Jauuuh!

Jadi, marilah kita memantapkan niat kita untuk mengangkat tema ini sebagai tema jurnal tahun ini untuk mengkritisi khafilatisma dan modernisma yang semakin, meminjam istilah Habib Riziq, KURAAAAANG AJAR!

Wallohu A'lamu Bisshowab