Sup Persaudaraan

Kamis, 24 Februari 2011

Sistematis-Hierarkis. Itulah komentar singkat saya setelah menonton The Battleship Potemkin. Lima adegan yang saling memiliki ketergantungan dan dimulai dengan tahapan terendah hingga tertinggi, runtut-urut. Adegan pertama, Men and The Maggots, menunjukkan kekesalan para awak kapal karena baru menyadari kalau selama ini mereka makan daging yang sudah busuk dan berbelatung. Adegan ini diawali dengan orasi Vakulinchuk, salah satunya dengan kalimat orasinya “Kita, pelaut Potemkin, harus mendukung saudara-saudara kita, kaum pekerja. Kita harus berdiri di front terdepan revolusi,”. Kedua, Drama In The Harbour, menceritakan pemberontakan para awak kapal melawan petinggi-petinggi kapal. Ketiga, A Dead Man Calls for Justice, berkisah tentang penyemayaman jasad Vakulinchuk di Odessa dengan hiruk pikuk tangis orang-orang setempat. Keempat, The Odessa Staircase, menceritakan ribuan orang Odessa yang berbela sungkawa dengan melakukan aksi mogok massa serta mengirimkan bahan makanan bagi pelaut-pelaut potemkin dan menuntut balas atas kematian Vakulinchuk yang seketika dijawab tentara rezim Tsar dengan senjata api. Kelima, The Meeting with The Squardon, kematian warga Odessa mendorong awak potemkin untuk membebaskan Odessa dari kekuasaan rezim Tsar dengan kapal-kapal Squadron sebagai rintangannya –meski akhirnya urung terjadi akibat rasa persaudaraan sesama kaum tertindas yang tumbuh dalam jiwa mereka.

Film besutan sutradara asal Rusia, Sergei Einstein ini dibuat pada tahun 1925 dengan mengambil setting waktu 1905 yang merupakan salah satu babak penting dalam Revolusi di Rusia. Peristiwa yang minim perencanaan ini turut andil dalam mengangkat derajat ketidakpercayaan rakyat Rusia pada Tsarisme hingga menemukan puncaknya pada tahun 1917, yakni Revolusi Oktober 1917. Einstein yang merupakan pendukung dan propagandis revolusi dinilai sukses dalam melakukan propagandanya dengan menggunakan film, terutama kelihaiannya mengaduk emosi penonton dengan pembantaian kaum Tsar dalam adegan The Odessa Staircase. Namun, agaknya propaganda Einstein kurang mempan terhadap saya—entah karena saya menonton dengan malas-malasan dan merokok. Malah sebaliknya, yang saya lihat dan garis bawahi adalah rasa persaudaraan para awak Potemkin, Squadron, dan warga Odessa. Rasa persaudaraan yang semakin hari diobral oleh dunia materi. Disitu, saya malah melihat rasa persaudaraan yang sangat mahal, namun berbandrol murah, yakni seharga semangkuk sup. Rasa persaudaraan ini pula yang nampaknya menjadikan rakyat kecil atau tertindas tidak terkalahkan, bahkan oleh pemuka agama (adegan dipukulnya pemuka agama saat mengatakan “ingatlah Tuhan”) sekalipun, atau jangan-jangan memang itu kehendak tuhan?—entahlah. Hal ini membuat saya membayangkan Rusia di zaman tersebut layaknya suatu desa pedalaman di Kulonprogo yang pernah saya kunjungi dengan rasa persaudaraannya. Lucu, unik, menarik.

Rusia memang identik dengan komunisme, tentunya dengan Marx, Si bapak ilmu sosial yang kondang dan mengurung keilmuan sosiohumaniora dalam dirinya. Hal ini mengingatkan saya akan perlakuan negeri ini pada seorang tokoh komunis yang merupakan salah satu founding father negeri ini, Tan Malaka. “Tan adalah senior Hatta dan Soekarno, ia menulis tentang republik ini 6 tahun sebelum Hatta dan 9 tahun sebelum Soekarno,” kata Harry Poeze dalam Seminar “Tan Malaka; Sejarah yang Terlupakan” di gedung Pasca Fisipol UGM. Dalam curhatannya di pembuka Madilog, dengan nada sindiran atas perbedaan perlakuan dan fasilitas yang didapatnya dan Soekarno, ia seakan menyindir negeri ini yang tidak adil karena ketidaktahuannya. Ironis-tragis.

Bolehlah sekiranya saya membanding-samakan semangat komunisme di Indonesia(dahulu) dan Rusia (dalam film tersebut), semangat persaudaraan atas ketertindasannya. Salah satunya lewat “kata-kata sakti”-nya. Kata-kata sakti dalam film tersebut antara lain, “All for one and one for all” dan “Land is our and future is our”. Sedangkan, di Indonesia, kalimat sakti tersebut terdapat dalam lagu “Darah Rakjat” yang sudah 30 tahun lebih dilarang diputar, dimainkan, dan didengar.
Berikut sebagian liriknya:
Darah rakjat masih berdjalan menderita sakit dan miskin.
Pada datangja pembalasan rakjat jang mendjadi hakim.
Rakjat jang mendjadi hakim, ajo, ajo bergerak sekarang.
Kemenangan pasti akan datang merahlah warna pandji.
Kita merah warna darah rakjat merah warna darah rakjat.

Pada awal film Battleship Potemkin diperlihatkan kekesalan para awak kapal karena telah memakan daging busuk dan berbelatung, tal terkecuali supnya. Sup yang mengakibatkan terbunuhnya pemimpin mereka (adegan yang menampilkan tulisan “killed for a plate of soup”). Sedangkan, di akhir, film ini ditutup dengan urungnya pertempuran Potemkin melawan Squadron karena rasa persaudaraan sesama kaum tertindas. Jika demikian, saya lebih suka menjuduli film ini dengan “Sup Persaudaraan”. Lebih nikmat didengar dan dibaca saat negeri ini sedang dilanda krisis persaudaraan. Apalagi jika dimakan, pasti lezat rasanya. Daripada Battleship Potemkin (Kapal Perang Potemkin) yang sarat dan mengandung konflik.