Pedoman Menjadi Sufi Sosial

Kamis, 24 Februari 2011



Judul Buku                   : Kunci Rahasia Ketuhanan
Penulis                         : Muchammad Hormus
Penerbit                       : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan                       : I, Januari 2010
Halaman                       : xiii + 203 halaman
       Dunia sufi yang biasa diidentikkan dengan anti-sosial, menjunjung tinggi “egoisme dan hedonisme spiritual” yang menanggalkan dunia kemasyarakatan telah menjadi sebuah stigma dalam dunia keislaman. Selain juga, dunia tasawuf dan sufisme telah terstigma menjadi sebuah alat pertaubatan di hari tua, yang sebentar lagi akan menemui sang khalik. Buku yang berjudul Kunci Rahasia Ketuhanan ini tak hanya mendobrak stigma dan paradigma dalam masyarakat islam tentang dunia tasawuf dan sufi. Buku pedoman sufi ini—jika peresensi boleh menyebutnya—telah menjadi panduan bagi masyarakat muslim untuk menjadi seorang sufi sejati yang tak hanya egois dan hedon spiritual, mulai dari paling dasar hingga yang paling kompleks untuk menjadi seorang sufi sosial. Mendobrak paradigma yang mengatakan bahwa dunia tasawuf hanya diperuntukkan orang-orang tua yang akan menjemput ajal sebagai manifestasi pertaubatan. Semakin dini pembelajaran tasawuf dengan mengukur kemampuan seorang anak, baik dengan hanya membelajarinya berdzikir dan beribadah sunnah, semakin berpeluang seorang anak tersebut untuk mukasyafah dengan Allah.

      Dalam bab-bab awal buku ini, para pembaca diajak untuk menyelami dan mengikuti pedoman singkat menjadi sufi pribadi. Dasar-dasar seorang sufi diulas tuntas yang dimulai dengan menyucikan hati. Kemudian dalam bab-bab berikutnya, para pembaca akan dijadikan seorang sufi sosial yang tak menanggalkan dunia sosialnya karena keasyikannya bercinta dengan tuhan untuk mengingat kembali bahwa seorang sufi adalah manusia, bukan lah tuhan, yang mengharuskannya untuk kembali dalam dunia sosialnya dalam rangka menjalankan perannya sebagai khalifah Allah yang membawa misi rohmatan lil ‘alamin. Dengan begitu, kepedulian sosial sang sufi akan terbangun oleh perannya sebagai seorang khalifah yang haus akan keadilan dan menolak penindasan. Dunia sosial yang membuatnya turun dari keasyikannya “bercinta” dengan tuhan tanpa menanggalkan kesufiannya, dengan tetap mengingat allah di tengah-tengah keramaian dunia sosial. Kritis berjuang demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Perubahan dan pergolakan sosial dijalani dengan “bertapa” di tengah keramaian seolah-olah Allah menginginkan perubahan itu.

      Selanjutnya, pembaca akan dijadikan seorang ilmuwan sufi. Terus mengembangkan berbagai ilmu dengan spirit ketauhidan. Pergolakan antara Fiqih dan Tasawuf pada era Al-Ghazali dicontohkan sebagai yang ideal, dimana Al-Ghazali telah berhasil mengawinkan antara kedua kubu tersebut. Ilmu-ilmu agama dihidupkannya dengan ruh tasawuf. Tak hanya sampai disitu, buku pedoman ini juga memberikan cara pemosisian diri sebagai seorang sufi ditengah pergolakan ilmu-ilmu dunia dan ilmu-ilmu agama, dalam benturan keilmuan barat dan timur.

      Di bagian akhir, buku ini memberikan bimbingan bagaimana menjadi seorang mursyid--guru rohani--dalam menghadapi gangguan para musuh, yang dipoles dengan tulisan-tulisan pribadi ketika penulis dalam masa jahdzab-gila karena Allah- dan setelahnya, baik dalam bentuk puisi atau uraian singkat.

      Kompleksitas pedoman menjadi seorang sufi sosial adalah mainstream buku yang ditawarkan oleh penulis sebagai seorang mursyid yang melakukan proses pergulatan pemikiran dan spiritual sejak sebagai aktivis mahasiswa hingga masa jadzab dan setelahnya telah menjadi sebuah nilai plus bagi buku ini. Bahkan sampai kritik-kritiknya terhadap para sufi terdahulu semisal Abu Yazid Al-Busthami dengan ittihad dan Al-Hallaj dengan hululnya sebagai sesama Sufi.

      Dalam konteks keindonesiaan saat ini. Buku ini memberikan kritik terhadap kasus korupsi yang semakin marak di Indonesia saat ini akibat krisis moralitas bangsa dan memberikan spirit kekhalifahan untuk segera menanggalkan korupsi sebagai seorang sufi yang berperan menjadi khalifatulloh di bumi dengan spirit ketauhidan untuk menanggalkan korupsi sebagai penindasan terhadap rakyat yang bersebrangan dengan konsep Sufi Sosial, haus akan keadilan dan menolak penindasan terhadap rakyat Indonesia. Bahkan, konsep umat dalam perkembangan sosiologis menjadi bermakna sebagai warga negara yang menjadi “tanggungan” para penguasa untuk tetap mengayominya dalam rangka menjalankan perannya sebagai kholifatulloh sebagaimana rosululloh menjadi rohmatan lil ‘alamin, dan kenapa bukan rohmatan lil muslimin. Semua warga harus diayomi tanpa adanya diskriminasi, dan semua yang tertindas harus ditolong tanpa memandang SARA. Buku yang relevan dengan konteks keindonesiaan saat ini, dan menawarkan jalan keluar bagi permasalahan bangsa saat ini. Semua tulisan seorang mursyid ini telah menjadi nilai lebih buku, yang tak hanya sebuah karangan biasa.

      Namun, yang menjadi agak ganjal dalam benak saya adalah, bagaimana seorang jadzab bisa menulis sebuah karangan yang pada masa tersebut ia berstatus gila—gila karena Allah—meskipun terkadang ingatannya kembali seperti semula namun sebentar dan kemudian kembali ke keadaan semula, hilang kesadaran jiwa tertarik pada tarikan cinta dan kasih sayang ilahi yaitu jadzab. Selain itu, mengapa buku yang sebenarnya bersifat private ini diterbitkan untuk diketahui publik? Jika boleh menebak disertai rasa hormat, mungkin buku ini adalah sebagai bukti bahwasanya penulis adalah sang sufi sosial sejati, yang ingin mengembangkan kesufiannya sebagai jawaban atas kasus-kasus yang melanda bangsanya dan menyengsarakan banyak masyarakat. itulah spirit seorang sufi sosial yang haus akan keadilan dan menolak penindasan. Namun, hal ini juga menjadi sebuah paradoks, dimana ketika mengkritik Abu Yazid Al-Busthomi dan Al-Hallaj ia mengkritik dengan nafsu. Dan dengan itu pula saya mengkritiknya, apa penerbitan buku ini juga merupakan sebuah nafsu yang menjadikan kesufiannya kurang sempurna layaknya Abu Yazid Al-Busthomi dan Al-Hallaj. Namun bagaimanapun juga seorang sufi yang mampu mengendalikan ego dan hedon spiritualnya adalah seorang yang tak hanya dekat dengan Allah, namun juga dengan manusia, yang tak rela melihat orang disekitarnya tertindas dan membuatnya “turun” untuk menjalankan misinya. Tak dapat diragukan lagi, buku ini adalah sebuah sumbangsih dari sang mursyid untuk bangsanya, apalagi yang membuat bangsa ini enggan membacanya? Baca dan rasakan lah perjalanan menjadi seorang sufi sosial layaknya Sang Mursyid—penulis buku ini.