Orang Miskin Dianjurkan Punah

Kamis, 24 Februari 2011

Andaikan di bioskop-bioskop abad 21 bertengger judul Pencuri Sepeda, mungkin penjual karcisnya akan lebih memilih ngopi di angkringan sambil ngobrol bersama teman-temannya daripada bekerja menjual karcis film. Begitupun saya, jika si penjual karcis saja ingin ngopi ke angkringan, mending saya tidur saja menjamu mimpi seketika membaca judul—membosankan—film itu. Untungnya saya –sering-- disebut mahasiswa. Terpaksa niat tersebut diselipkan dalam kebosanan dengan menikmati AC ruang multimedia.

Monggo

Pasca perang dunia kedua, depresi ekonomi melanda dunia, tak terkecuali Italia yang beribukotakan Roma. Akibatnya, industri perfilman pun ikut terlanda kesulitan ekonomi hingga membuat orang-orang perfilman menjadi “ekonom” –tanpa harus kuliah-- perfilman dengan kalkulator di hatinya. Depresi ini pula nampaknya yang melatarbelakangi De Sicca memilih genre neorealism dalam Bycicle Thieves; irit biaya, tanpa polesan. Dengan menggambarkan realitas sosial pasca perang dunia II di Italia, tepatnya Roma.
            Film yang diperankan oleh Lamberto Maggiorani (Ricci), seorang pekerja pabrik, Enzo Staiola (Bruno), seorang anak yang kebetulan ditemukan Sicca di lokasi syuting, dan Lianella Carell (Maria) ini menceritakan tentang “sepeda adalah kehidupan dan hidup adalah sepeda”. Antonio Ricci tiba-tiba ditawari pekerjaan sebagai penempel poster “tanpa mengantre” diharuskan mempunyai sepeda agar bisa bekerja sebagai penempel poster. Keluarga miskin macam Ricci sebagai kepala keluarga tentunya sulit untuk mendapatkan sepeda. Apalagi di tengah himpitan ekonomi pasca perang dunia. Lengkap sudah. Maria terpaksa menjual sprei mas kawin demi mendapatkan sepeda, tepatnya pekerjaan sang suami. Ironisnya, Ricci harus puas bekerja selama beberapa jam saja karena sewaktu menempel poster di hari pertamanya bekerja, sepeda kehidupannya dicuri orang. Ia pun diharuskan mencari sepeda kehidupannya agar tetap hidup. Bersama anaknya, Bruno, ia berusaha sekuat tenaga untuk mencari sepedanya, kehidupannya.
            Memang salah satu kelebihan film bergenre neorealism adalah menampilkan segalanya apa adanya. Setelah beberapa menit menonton film ini, keadaan apa adanya inilah yang membuat saya menggugurkan kebosanan sejak membaca judulnya. Emosi saya dipaksa patuh pada penderitaan masyarakat dalam film tersebut karena keadaan serupa sedikit banyak masih ada kemiripan dengan yang terjadi saat ini, di negara ini. Pertama, dua pengamen kecil yang ditendang oleh orang dewasa saat bekerja—mengamen. Bukankah saat ini masih banyak orang jijik dan tak sudi diameni?. Kedua, sepeda Ricci yang hilang. Bukankah memang faktor kemiskinan meningkatkan aksi kejahatan dan kriminal?. Beberapa stasiun televisi di negeri ini sering memberitakan aksi pencurian, pencopetan, dan perampokan yang dilandasi oleh faktor ekonomi demi menghidupi keluarga. Tak heran jika Ricci akhirnya juga mencuri sepeda demi menghidupi keluarganya.
            Ketiga, ketidak adilan yang menimpa Ricci saat mengadukan kehilangan sepedanya pada polisi. Polisi seakan enggan jika hanya mencarikan sepeda. Sepeda kehidupan seorang penempel poster. Para polisi hanya mau jika mencarikan emas. Emas kehidupan orang kaya. Jika saja penjual rumput di desa-desa terpencil kehilangan sabitnya, mungkinkah polisi akan mencarikan?. Orang miskin harus terus menderita seperti halnya Ricci. Seperti kata Iwan Fals, “Kesedihan hanya tontonan bagi mereka yang diperkuda jabatan.” Bahkan, saat Bruno ingin kencing ketika sedang mencari-cari sepeda bersama ayahnya sambil berlarian, ia harus menahan “hajat darurat” nomor duanya tersebut untuk terus menikmati penderitaan karena orang miskin dilarang pipis. Keempat, orang miskin dilarang beribadah. Ricci mendapati orang tua yang pernah dilahatnya berbincang dengan si pencuri sepedanya di Gereja. Lantas Ricci pun berusaha mengajak pak tua keluar untuk diinterogasi, kalau perlu secara paksa. Ajakan Ricci pada pak tua tersebut sontak membuat kekhusyukan ibadah jemaat-jemaat lain terganggu. Bagaimana bisa beribadah dengan khusyuk jika perut masih kosong?. Tuhan orang-orang miskin banyak yang tergantikan oleh perut. Himpitan ekonomi mengharuskan mereka bertuhankan perut.
            Orang miskin adalah tempat salah. Ricci juga disalahkan saat si pemuda yang diyakininya adalah pencuri (berpura-pura) sakit di depan umum. Ataupun pada saat Ricci hanya ingin melihat serial number salah satu sepeda. Jika anda bersalah, limpahkan kesalahan anda pada orang miskin. Niscaya mereka akan menerimanya dengan (terpaksa) ikhlas. Saya jadi teringat acara di salah satu stasiun televisi negeri ini yang mendatangkan sepasang suami istri tuna netra miskin yang dituduh menyimpan narkoba. Melihatpun mereka tak kuasa, apalagi menyimpan narkoba. Namun, mereka tetap dipenjara bertahun-tahun. Kurang ajarnya, mereka menerimanya dengan (terpaksa) ikhlas dan menjalaninya tanpa protes selama bertahun-tahun. Mungkin kekurangajran itu pula yang dilakukan oleh beberapa tahanan yang dituduh PKI di masa kemarin.
           Orang miskin memang jarang merasakan kebahagiaan. Mereka lebih akrab dengan penindasan. Begitupun Ricci dan Bruno, untuk bahagia saja mereka harus berpura-pura. Ricci berpura-pura bahagia saat mengajak Bruno untuk makan enak di sebuah restoran malah berimbas pada ditindasnya Bruno akibat melihat salah satu orang kaya tanpa henti memakan semua makanan enak yang tersedia. Namun, Bruno harus puas dengan seporsi makanan enak demi pura-pura bahagia. Kekayaan merupakan penindas kemiskinan.
            Di tengah himpitan permasalahan, terutama masalah perokonomian, masyarakat dipaksa percaya kepada paranormal selayaknya Ricci mempercayai paranormal yang dulunya tidak ia percaya sama sekali. Semua ke—apa adanya—an ditampilkan secara natural dalam film tanpa malam dengan mayoritas adegan di luar ruangan. Ke—apa adanya—an yang mirip dengan apa yang terjadi saat ini, di negeri ini, yang menjadi kelebihan film hitam putih sederhana. Film yang tak hilang ditelan zaman. Ke--serba kurang--an pasca perang dapat dijadikan oleh Sicca sebagai kelebihan film ini.
            Orang miskin memang bukan makhluk yang langkah, akan tetapi selalu saja diusahakan menjadi langkah dan punah. Minimal anggap saja tidak ada. mereka memang bukan hewan, akan tetapi selalu saja diusahakan menjadi hewan. Kiranya memang begitu nasib orang miskin. Jikalau perlu, buatlah itu menjadi fitrahnya. Dari dulu hingga sekarang, dimanapun, Orang Miskin Dianjurkan Punah.