Film, Qur'an, Tafsiran, Sangkar

Kamis, 24 Februari 2011

“Tidak ada yang salah dengan seekor gagak.” Dibandingkan burung yang terkurung dalam sangkar, Gagak jauh lebih baik.” Bisa menjadi seperti Gagak sudah cukup bagiku.”

--Crows Zero—
“Pertarungan jalanan dan bela diri itu beda.”

--Sherizawa—

Houzen, seragam abu-abu agak putih beserta mayoritas kebotakanmu itu sangkar. Bela dirimu juga sangkar. Sedang, Suzuran, meski terdapat keseragaman dalam Jas hitamnya. Mereka lebih “unggul” dalam “acak-acak”-annya. Sedang, pertarungan jalanan mereka telah keluar sangkar.

Putih bisa saja menjadi normal apabila ia mayoritas dari sebuah bintik Hitam pada baju. Begitupun Hitam boleh saja menjadi normal apabila ia mayoritas dari sebuah titik putih pada Jas. Difabel bisa saja menjadi tidak normal di hadapan manusia dengan fisik utuh. Seorang manusia berfisik utuh boleh saja menjadi tidak normal manakala berhadapan dengan manusia-manusia difabel. Seorang koruptor bisa saja menjadi tidak normal di hadapan manusia-manusia jujur. Seorang manusia jujur boleh saja menjadi tidak normal di hadapan manusia-manusia korup. Begitupun seterusnya. Dan seterusnya. “Normal” dan “Anomali” hanya masalah “Sisi”. Lantas, bagaimana kalau dihapuskan saja keduanya?

Jika ada orang mensinisi hiperbolis tafsiran. Maka, lahir jawaban “hanya tafsiran yang bisa diusahakan dan didapatkan.”
Dimana Titik Temu dan Pisah Antara Film dan Kitab Suci?

Bagaiman kalau mengibaratkan “Pencipta Film” sebagai “Pencipta Kitab Suci”?

Bagaimana kalau mengibaratkan Film sebagai Kitab Suci?

Lantas, yang dipunyai penonton, pembaca, sekaligus makhluk adalah tafsir mengenai lembaran-lembaran kitab suci dan deretan adegan-adegan. Tentunya, si Empunya lah yang mengetahui makna orisinil ciptaannya. Lantas, sebagai penonton film ataupun pembaca kitab suci, hanya rekaan, dugaan, tafsiran yang dipunya. Nikmati dan resapi saja tafsiran untuk bisa toleran. Jika tidak demikian, diri tak akan kuat hingga menjelmakan pribadi menjadi (sok) Tuhan. Pembunuhan dihalalkan sebagai ganjaran dari Tuhan. Sedang, yang dimilikinya hanya sebatas tafsiran. Sebut saja Derrida atupun Baudrillard yang mensinisi “simbol”, “bahasa” yang mirip dengan “tafsiran” atas keagungan “makna”. Namun, sinis mereka hanya pada “penyesatan.”

Sangkar
Sangkar, agar kamu sadar batas kemakhlukan.
Sangkar, agar kamu tak berani menyaingi tuhanmu.
Sangkar, dibuat Tuhan sebagai penanda kemakhlukan.
Sangkar, agar tahu dan sadar diri.
Sangkar, memahami keterbatasan.
Sangkar, apabila kurang luas, maka keluar lah.

Sangkar, begitu pengertian dengan penghuninya karena dibuat oleh Si Empu Sangkar Agung. ESA.

Sangkar kandungan.
Menuju sangkar gendongan.
Menuju sangkar sekolahan.
SD, SMP, SMP, Universitas, Fakultas, Jurusan.
Menuju sangkar dunia.
Jagad, bumi, negara, provinsi, kabupaten, kecamatan, desa, dusun, RW, RT.
Menuju sangkar kelompok.
Menuju sangkar pribadi.
Sangkar telah menjangkar hingga mengakar.

Hanya tinggal menunggu.
Saat dikeluarkan dari sangkar.
Saat pemusnahan sangkar.
Saat tiba kebebasan.
Hanya sesaat.
Sebelum dihantarkan pada sangkar haribaan.
Maka tiada sangkar selain sangkar.
Batas kebebasan.
Sangkar Kesejatian.
Ternyata, urip mung mampir nang kurungan.