Warning: Keisengan dan Keseloan

Kamis, 24 Februari 2011

Kiranya, apa yang menarik dari sebuah film kartun? Sedang, kemarin, ibu dan nenek menyebutnya film setan karena penayangannya tepat di waktu sholat maghrib.

              Perkenalan dimulai dari pembacaan sewaktu SMA (pernah SMA?!). Berlanjut menjadi kegemaran dikarenakan oleh seorang teman yang menjadi “bandar” komik. Hingga sekarang. Dibantu oleh “Mbah Google” demi mendapatkan komik versi digital untuk mengisi keseloan yang ada.

              Apalagi kalau bukan One Piece. Cerita bajak laut yang menginginkan harta karun One Piece untuk menjadikannya Raja Baja Laut. Entah tertular oleh mata kuliah kajian film yang menganjurkan menonton film dengan agak serius. Misalnya dari pembacaan tetang Iron Man yang lalu. Ataupun yang lainnya. Terdorong untuk menonton One Piece dengan sedikit kadar porsi keseriusan. Pun, menggarap sebuah film bukanlah kebetulan untuk iseng-isengan seperti penulis (ini). Apalagi, film kartun ini digarap di sebuah negara penghasil komik dan film kartun. Seakan komik hanya ada di negara ini. Jepang.

              Jepang. Negara Asia yang dengan gagahnya menantang Eropa yang telah “berkuasa” sejak revolusi inggris dan masa pencerahan. Mungkin saja, One Piece ini adalah sebuah “cultural counter” atau semacam pembendung sekaligus pelawan bagi Eropa. Mungkin.

              One Piece. Sebuah judul yang (sudah) agak tidak jelas. Secara serampangan karena ketidakfahaman dan ketidakmampuan berbahasa asing, One= Satu, Piece= Bagian, dan One Piece= sebuah bagian (?!). Mungkin akan menjadi jelas bagi otak yang mampu. Namun, bagi otak pembaca dan penulis (ini), agaknya memang belum mampu tercerna dengan baik.

               Pun, nampaknya, harta karun tersebut tak kunjung menampakkan kejelasannya. Apakah ia sebuah tumpukan emas, intan berlian, ataupun barang berharga nan bernilai materi lainnya. Luffy, begitu ia akrab disapa, tokoh utama dalam film ini, berjuang mati-matian untuk menjadi Raja Bajak Laut. Meskipun, hingga sekarang, Raja Bajak laut “terantagoniskan.”

               Gol D. Roger, seorang Raja Bajak laut telah diadili dengan pancungan di sebuah altar penghakiman oleh Pemerintahan Dunia. Untungnya, kebetulan, One Piece yang telah tertonton kemarin adalah eksekusi anak Gol D. Roger, Gol D. Ace, saudara Luffy, si tokoh utama. Ada yang aneh dan keluar dari mainstream—setidaknya menurut penulis yang iseng ini. Mengapa pembuat film yang sejatinya komik ini seakan ingin membunuh tokoh utama di akhir cerita? Bagaimana tidak. Bukankah ketika One Piece diperoleh Luffy, si Raja Bajak Laut akan mati tereksekusi seperti Roger? Lantas, untuk apa harta karun kematian ini?

               Tiba-tiba pikiran begok iseng-iseng mengajak berbincang si Selo. “Kebebasan, lo Selo. Laut adalah simbol kebebasan yang tiada batas untuk melakukan semua keinginan.” Lantas, “untuk apa mencari One Piece di tengah kebebasan tiada batas itu, Pikiran Begok? Mati?,” “Bukankah kebebasan harus terbatasi dan tergunakan, lo Selo? Bukankah kamu telah diajari khoiru an-nasi ‘anfa’uhum linnas (sebaik-baiknya manusia adalah yang memberi kemanfaatan bagi manusia lainnya). Minimal berguna sebelum mati. Meski cita-cita kebergunaan atau kemanfaatan itu harus ditebus dan sekaligus menjadi kematian, lo Selo. Mulia bukan?” “Lantas untuk apa, dengan cara apa, gok Begok?,” “Ya untuk memberi kemanfaatan bagi warga seluruh bajak laut, mengayomi mereka dengan kerajabajaklautanmu, menentang penguasa zaman dan zamannya sekaligus dengan gagah berani dan tiada henti seperti Luffy. Serta mempunyai posisi tawar dengan Pemerintahan Dunia? Nikmat bukan? Hidup bebas, mempunyai nilai kemanfaatan bagi orang banyak dan nilai tawar dengan penguasa? Apalagi penguasa zaman. Alangkah nikmatnya kematian berbekal kemanfaatan?” Si Selo hanya mengangguk-angguk setengah mengamini usulan Si Begok.

Lanjutkan keisengan dan keseloan.
                Drama eksekusi Portgas D. Ace, alias Gol D. Ace berjalan mendebarkan dengan peperangan antar dua kubu, pemerintahan dan bajak laut. Pemerintah dengan “seragam” dan “persenjataan lengkapnya” melawan para bajak laut dengan “kesederhanaan,” “ketidakteraturan,” “keacak-acakan,” “kebersamaan,” “kekreatifan,” ”kearifan,” dan “Ke-An yang lainnya.” Mirip kiranya dengan perang Indonesia melawan penjajah kemarin. Mirip kiranya dengan perkotaan dan pedesaan. Mirip kiranya dengan tradisional dan modern. Mirip kiranya dengan penguasa dan rakyat. Mirip kiranya dengan zaman.

                Peperangan untuk memperebutkan anak dari si Raja Bajak Laut Gol D. Roger dan Portgas D. Rouge. Cucu dari Vice Admiral Legendaris, Monkey D. Garp, dari pihak pemerintahan musuh para bajak laut. Pengasuh kedua cucunya, Ace dan Luffy sewaktu keduanya masih bocah. Ace anak Raja Bajak Laut, musuh nomer wahid Pemerintahan Dunia. Sedang, Luffy bernama lengkap Monkey D. Luffy merupakan anak Sang Revolusioner Monkey D. Dragon, buronan nomer wahid Pemerintahan Dunia. Ia—Luffy—sendiri sedang mendaki tangga mengikuti jejak Bapaknya. Rumit serumit penulisnya. Sungguh keluarga yang unik, lucu, rumit, aneh, dan tentunya, Edan.

                Pemenang peperangan akan bergelar Keadilan. Ace adalah simbol Keadilan yang diperebutkan oleh kedua kubu. Pemerintah yang berusaha “memberandalkan” bajak laut di mata dunia. Bajak laut yang berusaha keras memperoleh sejumput keinginan dan kebebasan. Pemerintah yang melabeli dirinya sebagai Keadilan Absolut. Bajak laut yang tidak mempedulikan keadilan dan tidak tahu beban Keadilan yang berada dipundaknya, asal kebutuhan, keinginan, dan kebebasan tergenapi.

                Bagaimanakah dengan Keadilan pada saat ini? bukankan ia tersempitkan dengan uang dan kekuasaan? Bukankah sudah mirip? Untuk melakukan penindasan terhadap yang tidak bersumberdaya. Berusaha sekuat tenaga atas nama Keadilan versi dirinya. Sedang, musuh yang dihadapi terlalu polos dan lugu untuk memaknai Keadilan yang sebenarnya berada dipundaknya. Pun, Terkadang harus menyerahkan keadilan yang berada di pundaknya untuk dijadikan sesaji bagi penguasa yang berduit atau duit yang berkuasa. Ayolah! Kamu Luffy, kawan. Bajak Laut. Jangan memalukan dan mudah menyerah!

                Jangan menyerah melawan kegilaan pemerintah yang dipersenjatai meriam, media, pasukan, seragam, dan keteraturan. Lihat saja di adegan peperangan memperebutkan Ace. Bagaimana tidak gila. Bartholomew Kuma, seorang Sichibukai, salah satu pasukan terhebat dan mengerikan itu diciptakan dengan Bibel di tangan. Admiral Sengoku dengan perubahannya menjadi Budha. Ternyata pemerintah mempunyai pasukan yang agamis. Semoga agama-agama umat manusia tidak dijadikan senjata oleh pemerintah. Oleh penguasa. Oleh zaman.

                Meskipun pemerintah telah menyiarkan lewat media tentang “kebrandalan” kita. Acuhkan saja. Anjing menggonggong bajak laut berlalu. Aku ya aku, kamu ya kamu, dia ya dia, mereka ya mereka, kalian ya kalian, asalkan, kita ya kita, kawan. Kita telah disediakan cermin oleh Luffy dan Chobby. Dua sahabat di masa kecil. Tetap sahabat di masa dewasa. Meski “diformalkan” sebagai musuh. Bukankah  sekarang musim buah formalitas dari negeri antah berantah?

                 Jalan apapun yang kamu ambil, dari manapun kamu berasal, kita tetap sahabat dan saudara. Saudara yang saling mendukung dan memotivasi. Meski harus adu pukul di panggung teater. Pukulanmu akan terasa nikmat, kawan. Meski nampak di panggung sebagai musuh. Kita akan tetap menjadi saudara semanusia, kawan. Meminum secangkir kopi, merokok beberapa batang, dan bersenda gurau selepas manggung. Untuk melepas kelelahan teatrikal kita.

                 Salahkan saja Luffy, jika anak-anak tidak bisa dan bingung bercita-cita. Cita-cita mereka hanya sebatas hidup di lautan, mendapatkan harta karun One Piece, menjadi Raja Bajak Laut, kemudian mati. Memang dasar cita-cita anak-anak begok zaman sekarang!