Dibalik Peristiwa 10 November 1945

Kamis, 24 Februari 2011

Judul Buku : Resolusi Jihad Paling Syar’i
Penulis : Gugun El-Guyanie
Penerbit : Pustaka Pesantren
Tahun : Cetakan I, 2010
Tebal : xiv + 128 halaman

Resolusi Jihad berperan penting dalam mengobarkan semangat 10 November 1945 arek-arek Surabaya.

Siapa yang tidak tahu Hari Pahlawan 10 November dengan Bung Tomo sebagai tokoh legendarisnya? Namun, siapa yang tahu tentang Resolusi Jihad? Barangkali banyak yang tidak tahu tentang Resolusi Jihad NU yang dideklarasikan oleh para kiai se-Jawa dan Madura pada tanggal 22 Oktober 1945, sebelum peristiwa bersejarah 10 November. Buku Gugun El-Guyanie ini mencoba melakukan penelusuran terhadap sejarah yang terlupakan untuk menyingkap tabir sejarah kepahlawanan negeri ini.

Adagium yang berbunyi “sejarah selalu diciptakan oleh penguasa” agaknya memang benar adanya di negeri ini. Masyarakat Indonesia sengaja dipikunkan dengan kurikulum pendidikan sejarah. Sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah tidak pernah mengenal Resolusi Jihad, apalagi KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri Organisasi Nahdlatul Ulama dan ketua Masyumi yang dipercaya sebagai penasehat PETA (Pembela Tanah Air) sebagai pemegang komandonya. Keterangan tentang Resolusi Jihad serta KH. Hasyim Asy’ari sangat minim atau bahkan hampir tidak ada sama sekali dalam literatur sejarah Indonesia. Peran kaum tradisionalis-pesantren seakan tidak diakui oleh negeri ini. Meskipun banyak kiai yang mendapatkan gelar pahlawan nasional dari pemerintah. Penguasa negeri dan masyarakat yang melupakan sejarah Resolusi Jihad dari tinta emas sejarah menjadikan penghargaan tersebut tidak berarti.

NU sendiri lahir dari tiga embrio pergerakan, yakni Nahdlatul Wathan yang menjadi spirit politik nasionalis, Taswirul Afkar sebagai spirit intelektual pendidikan, dan Nahdlatut Tujjar yang menjadi spirit ekonomi sebagai wujud respon kepedulian dan kepekaan ulama atas situasi dan kondisi yang dialami oleh masyarakat Indonesia akibat penjajahan sebelum lahirnya NU. Nahdlatul Wathan (Pergerakan Tanah Air) lahir pada tahun 1914 dan pada nantinya melahirkan Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air) yang diprakarsai oleh KH. Wahab Hasbullah pada tahun 1924. Para kaum tradisionalis-pesantren telah lebih dahulu memiliki kesadaran nasionalis yang melampaui kepentingan-kepentingan primordial yang diakomodasi oleh organisasi kedaerahan yang banyak beridiri pada masa tersebut.

Hal tersebut tidak bisa terlepas dari keislaman orang NU. Islamnya orang NU adalah Islam yang Indonesia. Bagi orang NU, menjadi Islam seratus persen berarti menjadi nasionalis seratus persen karena Hubbul Wathan Minal Iman (mencintai negara adalah sebagian dari iman). Sikap nasionalisme dan anti penjajah inilah yang nantinya melahirkan Resolusi Jihad. Dalam konteks Resolusi Jihad, NU menjadikan pengertian jihad yang sering dikutip Gus Dur dari kitab fathul mu’in sebagai rujukan, yakni, “daf’u dlarar ma’bumin musliman kana au ghaira muslim” (melindungi kehormatan orang-orang yang perlu dibela, baik Muslim maupun non Muslim). Dengan kata lain, berjihad melindungi kehormatan seluruh bangsa Indonesia, baik yang Muslim maupun non Muslim, asalkan satu bangsa, satu nasib, seperjuangan.

Resolusi Jihad NU terdiri dari lima butir, Pertama, Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus wajib dipertahankan. Kedua, Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan. Ketiga, musuh Republik Indonesia, terutama Belanda yang datang dengan membonceng tugas-tugas tentara Sekutu (Inggris) dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia. Keempat, Umat islam terutama Nahdlatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia. Kelima, kewajiban tersebut adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban tiap-tiap orang Islam (fardlu ‘ain) yang berrada pada radius 94 km (jarak dimana umat Islam diperkenankan sembahyang jama’ dan qasar). Adapun mereka yang berada diluar jarak tersebut berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 km tersebut (hal 17-18 dan 74-75).

Fatwa tersebutlah--setidaknya menurut Gugun-- yang mendorong masyarakat Surabaya pada khususnya, dan Jawa Timur pada umumnya, untuk terlibat dalam perang 10 November 1945. Semangat religiusitas dan nasionalisme tersebut lah yang membawa Surabaya menjadi kota pahlawan dan kota santri. Perlu diingat bahwasanya NU didirikan di Jawa Timur pada tahun 1926. Dengan demikian, kota Surabaya memiliki nilai khas yang unik, baik dari segi politik, budaya, maupun religiusitasnya. Tidak heran jika hampir separo komandan PETA adalah para kiai yang merupakan bagian dari laskar Hizbullah-Sabilillah yang pada nantinya memberikan sumbangan besar bagi TNI karena sebagian besar anggotanya berasal dari PETA.

Menurut Bruinessen, Resolusi Jihad tersebut berdampak besar dalam mengobarkan semangat 10 November 1945. Sayangnya, Resolusi Jihad ini tidak mendapatkan perhatian yang layak dari para sejarawan (hal 34-35 dan 98). Tidak heran, jika Jenderal (Purn) ZA Maulani pernah mengatakan bahwa Indonesia sangat zalim dalam merekam perjalanan sejarah bangsanya sendiri (hal 48). Menarik untuk disimak, ketika Gugun membantah pernyataan MC Ricklefs, seorang sejarawan kontemporer dengan karya berjudul Sejarah Indonesia Modern yang seringkali dijadikan buku pegangan sejarah oleh mahasiswa perguruan tinggi di Indonesia, bahwa kepemimpinan barisan Hizbullah didominasi oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah dan anggota-anggota kelompok PSII dari masa sebelum perang yang pucuk kepemimpinannya dipegang oleh Agus Salim. Padahal, barisan Hizbullah dipimpin oleh KH. Zaenal Arifin dan pemimpin tertinggi Sabilillah adalah KH. Masykur. Dengan bantahan Gugun, begitu ia akrab disapa, setidaknya telah terbuktikan bahwa perguruan tinggi di Indonesia telah sedikit tertular “wabah pikun nasional”.

Namun, apakah makna nasionalisme menurut perspektif para pendiri NU. Apakah yang dimaksud dengan wathan adalah negara (state)? Atau bangsa (nation)? Atau negara bangsa (nation-state)? Bahasan yang belum “dituntaskan” oleh Benedict Anderson dan hanya dimaknai sebagai Komunitas Terbayang. Namun, nasionalisme ini pula yang akan menjadikan kita tahu, mengapa buku ini diberi judul “Resolusi Jihad Paling Syar’i” oleh Gugun. Jihad dengan alas nasionalisme, bukan jihad yang dalam beberapa tahun ini berbelok menjadi terorisme yang malah merongrong rasa persatuan negeri dan nasionalisme itu sendiri.

Meski Gugun merupakan salah seorang warga nahdliyyin, buku ini sepatutnya tidak hanya dipandang sebelah mata sebagai opini dari orang NU belaka. Pasalnya buku yang merupakan skripsinya pada jurusan Jinayah Siyasah (Pidana Tata Negara Islam) Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini merupakan karya ilmiah yang memenuhi standar keobjektifan. Tentu dengan sedikit menaburi bumbu skeptisisme karena kedekatan emosional Gugun dengan NU. Terlepas dari itu semua, buku ini selayaknya diapresiasi oleh negeri ini sebagai karya sejarah yang berupaya membuka tabir gelap sejarah kepahlawanan Indonesia. Sudah saatnya negeri ini meluruskan sejarah dan mengobati “wabah pikun nasional” yang dideritanya.